Rabu, 05 Desember 2012

TEKNOLOGI PANGAN SEBAGAI PENDUKUNG KETAHANAN PANGAN



TEKNOLOGI PANGAN SEBAGAI PENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
(Pembahas)

I Wayan Rusastra
Peneliti Utama Agro Ekonomi, PSEKP, Bogor, dan Programme Leader R&D, UNESCAP-CAPSA, Bogor


A.      Pendahuluan

Makalah yang dibahas: Teknologi Pangan sebagai Pendukung Ketahanan Pangan, merupakan pilihan topik makalah utama yang tepat dalam mendukung tema seminar “Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian sebagai Penggerak Ketahanan Pangan Nasional”. Makalah yang disampaikan Prof. M. Qazuini telah memberikan landasan teoritis yang kuat tentang justifikasi urgensi teknologi pangan dalam mendukung ketahanan pangan. Landasan teoritis ini dinilai mendasar, sehingga tidak perlu ada keraguan lagi tentang prioritas pelaksanaan likaji dan pengembangan teknologi pangan dalam mendukung program pembangunan pertanian daerah dalam rangka peningkatan ketahan pangan masyarakat pedesaan.
Dalam konteks penciptaan dan pemasyarakatan teknologi pangan tentu tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan pemecahan masalah riil dilapangan. Teknologi pangan yang diciptakan dan dikembangkan harus mampu memfasilitasi program pengolahan hasil pertanian dan pengembangan industrui pangan dilapangan. Keberhasilan membangun padu-padan (link and match) tersebut diatas diharapkan mampu mencapai sasaran pembangunan ketahan pangan yang mencakup aspek ketersediaan pangan, aksesibilitas ekonomi, distribusi dan konsumsi pangan, serta keberlanjutan industri pangan.
Makalah bahasan ini akan menyampaikan review ringkas dari makalah yang dibahas, yang selanjutnya dikomplementasi dengan deskripsi kebijakan strategis ketahanan pangan nasional, program pengolahan hasil pertanian, dan pengembangan industri pangan dilapangan. Dari bahasan ini diharapkan dapat dirumuskan strategi pengembangan teknologi pangan dilapangan.


B.      Review Ringkas Makalah

Secara ringkas makalah yang ditulis Prof. M. Qazuini, telah mampu memberikan arahan dan rujukan teoritis tentang urgensi dan antisipasi pengembangan teknologi pangan sebagai berikut: (a) Justifikasi urgensi teknologi pangan dalam mendukung ketahanan pangan; (b) Rumusan dimensi dan program ketahanan pangan, khususnya yang terkait dengan aspek ketersediaan pangan; (c) Pemahaman ilmu pangan dan gizi untuk mendapatkan gizi yang cukup dan berimbang untuk dapat hidup sehat dan produktif; (d) Urgensi dari pengolahan pangan, dimana peran penurunan kadar air melalui proses pengeringan merupakan alternatif solusi yang aplikatif; (e) Deskripsi persyaratan yang harus dipenuhi pada setiap tahapan dalam proses pengolahan produk: panen, tempat penyimpanan dan ruangan penyimpanan; (f) Alasan pokok perlunya pengolahan bahan pangan dan teknik utama dalam pengawetan pangan; (g) Deskripsi praktis teknologi pangan (pemberiaan senyawa kimia) dan antisipasi dampaknya yang mencakup peningkatan hasil bahan dasar, mencegah kerusakan, meningkatkan cita rasa, memperbaiki tekstur pangan, menambah nilai gizi, mempermudah pengemasan, dan lain-lain.
Penulis menekankan bahwa teknologi senyawa kimia ini bersifat dinamis dan penggunaannya harus mengikuti kaidah hukum yang berlaku. Disadari bahwa review ringkas ini jauh dari sempurna, dan diyakini tidak merepresentasikan secara utuh dan memadai makalah yang ditulis oleh Prof. M. Qazuini. Seperti disampaikan pada awal bahasan ini, makalah utama ini telah mampu memberikan pedoman teoritis dan pada aspek tertentu bersifat praktis operasional dalam meyakinkan peran dan urgensi teknologi pangan dalam mendukung ketahanan pangan.


C.      Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Program Pengolahan Hasil Pertanian

Teknologi pangan pada hakekatnya diarahkan untuk memfasilitasi program pengolahan hasil pertanian dengan sasaran dapat mendukung kebijakan strategis ketahanan pangan. Pada tahap awal, sebaiknya dipahami secara baik kebijakan strategis ketahanan pangan nasional saat ini. Bahasan kebijakan strategis ketahanan pangan ini mengacu pada tiga dimensi/indikator utama, yaitu ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dalam konteks mencapai sasaran ketahanan pangan ditingkat nasional/regional/rumah tangga (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).
Strategi umum didalam mewujudkan ketahanan pangan akan ditempuh melalui strategi jalur ganda (twin-track strategy) (Nainggolan, 2006), yaitu: (a) Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan pendapatan; (b) Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pemberian bantuan langsung dan pemberdayaan, agar mereka tidak semakin terpuruk dan mampu mewujudkan ketahan pangan secara mandiri. Dalam implementasinya, strategi ini perlu dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan semua pihak terkait dengan fasilitasi pemerintah.
Secara lebih spesifik, kebijakan strategis ketahanan pangan pada hakekatnya diarahkan untuk mampu memecahkan permasalahan dan mencapai sasaran pengembangan ketahanan pangan (Nainggolan, 2006; Apriyantono, 2006). Dalam aspek ketersediaan, kebijakan strategis diarahkan kepada: (a) Meningkatkan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan; (b) Meningkatkan infrastruktur pertanian dan pedesaan; (c) Meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri; dan (d) Mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
Terkait dengan pencapaian sasaran dalam aspek distribusi, sedikitnya terdapat empat kebijakan strategis yang diarahkan pada: (a) Meningkatkan sarana dan prasarana untuk perbaikan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan; (b) Mengurangi dan/atau menghilangkan peraturan daerah yang menghambat distribusi pangan antar daerah; (c) Mengembangkan kelembagaan dan sarana fisik pengolahan dan pemasaran di pedesaan; dan (d) Menyusu kebijakan harga pangan untuk melindungi produsen dan konsumen.
Dalam aspek konsumsi, kebijakan strategis ketahanan pangan diarahkan pada: (a) Meningkatkan kemampuan akses pangan rumah tangga sesuai dengan kebutuhan menurut jumlah, mutu, keamanan, dan keseimbangan gizi; (b) Mendorong, mengembangkan, dan memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memnuhi hak atas pangan khususnya bagi kelompok kurang mampu; (c) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan dan pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat rawan pangan; dan (d) Mempercepat proses diversifikasi pangan kearah konsumsi yang beragam, bergizi dan berimbang.
Permasalahan terkait dengan upaya membangun usaha pengolahan diantaranya (Damardjati, 2006), adalah: (a) Skala usaha kecil dan tersebar, sehingga berdampak kepada tingginya inefisiensi karena besarnya biaya pemasaran; (b) Masih rendahnya standar penangan pasca panen dan pengolahan; (c) Kinerja teknologi pengolahan dinilai belum mampu menghasilkan produk olahan berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan kompetisi pasar yang semakin tinggi; (d) Mutu produk olahan dinilai masih rendah, kuantitas rendah, dan adanya inkontinuitas produk.
Sedikitnya terdapat dua program yang terkait langsung dengan pembangunan usaha pengolahan yaitu program pengembangan pasca panen/ pengolahan; dan program pengembangan sistim manajemen mutu dan standarisasi. Program pengembangan pasca panen dan pengolahan mencakup program pengembangan kecamatan pasca panen; dan program pengembangan kawasan agro-industri pedesaan. Deskripsi program pengembangan kecamatan pasca panen adalah sebagai berikut: (a) Penumbuhan kelembagaan pasca panen dalam kawasan kecamatan dengan antisipasi akan memudahkan pembinaan dan penerapan teknologi; (b) Kelembagaan kelompok pasca panen yang telah terbina dengan baik diharapkan akan menjadi modal dasar dalam membangun jaringan pemasaran berbasis supply chain manajemen (SCM); dan (c) Keanggotaan kelompok pasca panen terdiri dari petani/kelompok tani dan stakeholder lainnya.
Deskripsi program pengembangan kawasan agro-industri pedesaan mencakup: (a) Pengembangan unit pengolahan yang terintegrasi dengan sentra produksi bahan baku dan sarana penunjangnya; (b) Pengembangan usaha pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri sejenis skala menengah dan besar; (c) Pengembangan manajemen pengolahan hasil tanaman pangan.
Progress pengembangan system manajemen mutu dan standarisasi mencakup aspek (Damardjati, 2006): pengembangan sistim manajemen mutu; pengembangan sistim sertifikasi dan pelabelan; dan pengembangan sistim akreditasi. Target dari pengembangan ini adalah terbangunnya sistim sertifikasi dan pelabelan mutu beras, dan terbangunnya sistim sertifikasi pangan (palawija) dan produk pertanian lainnya.
Program terkait dengan pasca panen dan pengolahan ini harus dilakukan secara komplemen dan sinergis dengan program pengembangan pemasaran yang mencakup (Damardjati, 2006): (a) Pengembangan pasar dalam negeri yang diikuti dengan tingkat proteksi yang memadai; (b) Pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan kelembagaan) dengan sasaran peningkatan efisiensi pemasaran; (c) Pengembangan jaringan pemasaran berbasis supply chain management (SCM); (d) Pengembangan sistim informasi pemasaran; dan (e) Pengembangan pasar ekspor serta penguatan negosiasi dan lobi di forum regional dan internasional.

D.      Pengembangan Industri Pangan

Pembelajaran dari lapangan, menarik untuk diungkap pengalaman Garuda Food dalam pengembangan industri pangan (palawija), khususnya kacang tanah (Sibarani, 2006) dengan narasi ringkas sebagai berikut: (a) Kacang tanah sebagai “branded product” harganya relatif stabil karena produknya yang bersifat spesifik; (b) Industri bertumbuh secara berkelanjutan, karena adanya kontinuitas penawaran dan permintaan yang pada akhirnya berdampak pada stabilitas harga; (c) Kebijakan dan program pengembangan industri harus mampu memberikan nilai tambah sepanjang rantai (primer-sekunder-tertier) melalui pengembangan R&D, teknis proses dan pengembangan produk, distribusi logistik, dan promosi pemasaran; (d) Pengembangan industri melalui pendekatan kemitraan secara terpadu sehingga mampu mencapai kinerja industri secara baik (kondisi lancar) dan tidak terdapat pembatas yang berarti dalam pengembangan lahan usaha.
Tujuan kemitraan yang dikembangkan Garudafood adalah: (a) Menjamin kontinuitas supply bahan baku industri; (b) Menjamin kualitas bahan baku; (c) Memberikan kepastian harga; dan (d) Membangun kemitraan seluas-luasnya dan memberdayakan potensi yang ada didaerah. Strategi kemitraan yang dipertimbangkan mencakup: (a) Intensifikasi: menggunakan sarana produksi pertanian yang direkomendasikan oleh industri maupun Dinas Pertanian setempat; (b) Ekstensifikasi: dengan penggunaan lahan HGU atau penggunaan lahan perkebunan dengan sistim tumpangsari dan rotasi; dan (c) Persyaratan teknis: kesesuaian faktor agronomi, komoditas (varietas), kesepakatan, dan lain-lain.
Dalam konteks pengembangan pertanian (produksi-pengolahan-pemasaran) menarik untuk diungkap keberhasilan Gorontalo dalam pengembangan program agropolitan berbasis komoditas jagung (Muhammad, 2006). Terdapat sembilan pilar menuju pembangunan pertanian modern (agribisnis jagung) sebagai berikut: (1) Pengembangan dan penyediaan alsintan; (2) Penyediaan dana penjamin petani (APBD + ASKRINDO + Bank BRI + Bank Mandiri + Bank BNI); (3) Penyediaan benih unggul, pupuk, dan pengendalian hama penyakit; (4) Memperlancar pemasaran dengan jaminan harga dasar melalui BUMD; (5) Pembangunan prasarana irigasi dan jalan akses agropolitan; (6) Percontohan (show window) disetiap kabupaten/kecamatan Posko Agropolitan; (7) Peningkatan SDM pertanian; (8) Peningkatan peran Maize Center dalam penelitian dan pengkajian teknologi; (9) Perencanaan dan koordinasi, khususnya dalam mencapai efisiensi dan efetivitas pengembangan infrastruktur.
Kegiatan pasca panen dan penyuluhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Pilar 4: Memperlancar pemasaran dengan jaminan harga dasar melalui BUMD dengan cakupan aktivitas: (a) Melakukan pembinaan dan koordinasi dengan pengusaha, pedagang pengumpul, pedagang besar dalam mempertahankan tingkat harga yang layak untuk petani; (b) Promosi dan kerjasama dengan pengusaha diluar daerah maupun diluar negeri dalam pemasaran jagung dan komoditas lainnya; (c) Pembinaan dan penanganan pasca panen untuk meningkatkan kualitas produksi; dan (d) Pembinaan dan penanganan pengolahan untuk menghasilkan produk olahan.
Menarik untuk dikemukakan strategi program kemitraan dalam pengembangan agribisnis jagung di Gorontalo yang dimulai dari Sektor Hilir, yaitu pemasaran (Muhammad, 2006) dengan justifikasi sebagai berikut: (a) Eksistensi pasar akan menjamin kepastian harga dan keuntungan pelaku agribisnis jagung; (b) Kepastian harga akan mendorong peningkatan usahatani jagung yang berdampak pada peningkatan produksi, pendapatan petani, keuntungan pedagang, dan memudahkan investor menghitung besarnya investasi yang ditanam didaerah (Gorontalo); dan (d) Mendorong para pengusaha, petani, dan institusi pemerintah dari provinsi tetangga untuk menjual jagung ke Gorontalo.

E.      Strategi Pengembangan Teknologi Pangan

Mengacu pada hasil pembahasan sebelumnya dapat dirumuskan beberapa kebijakan strategis dalam pengembangan teknologi pangan, sebagai berikut:
1.       Pengembangan teknologi pangan harus memenuhi kualifikasi teknis, ekonomis, dan sosial, sehingga mampu menghasilkan produk olahan yang memenuhi persyaratan mutu, berdaya saing, dan ramah lingkungan;
2.       Pengembangan teknologi pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan aspek sertifikasi dan standarisasi produk, serta perlu mendapatkan dukungan efisiensi pemasaran yang memadai. Sasarannya adalah agar nilai tambah dan bagian harga yang diterima petani pengolah relatif tinggi dan menguntungkan sebagai bagian insentif pengembangan usaha.
3.       Pengembangan teknologi pangan harus mampu memecahkan permasalahan riril yang dihadapi masyarakat, dapat memfasilitasi program pasca panen dan pengolahan, serta dapat secara meyakinkan memberi dukungan terhadap pencapaian sasaran kebijakan strategis ketahanan pangan.
4.       Kebijakan pengembangan teknologi pangan sepantasnya memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah, mengingat penguasaan sumber daya, pendanaan, dan otoritas perencanaan ada didaerah. Fasilitasi pengembangan SDM, pengembangan teknologi, pendampingan teknis dan manajemen perlu diberikan secara maksimal pada pemerintah/masyarakat didaerah.
5.       Pemilihan komoditas prospektif, pendekatan partisipatif dan pemberdayaan, pelibatan peran swasta, dan pengembangan jaringan kerja domestik dan internasional dalam pengembangan industri pengolahan (agroindustri) di pedesaan perlu dipahami justifikasi dan urgensinya dan diupayakan secara koordinatif dan sungguh-sungguh oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat.
6.       Program kemitraan dinilai tetap relevan dalam pengembangan agroindustri dalam perspektif sharing resiko (teknis, ekonomi dan sosial), dengan fasilitasi pemerintah. Program kemitraan hendaknya diinisiasi dari penanganan aspek pemasaran, yang dinilai mampu memberikan insentif dan mendorong partisipasi pelaku terkait dengan lebih efektif.
7.       Program Primatani sebaiknya dibangun dengan mempertimbangkan basis industri pengolahan komoditas tertentu, dengan kawasan wilayah kecamatan. Pengembangan keterkaitan fungsional dan institusional ke hulu (subsistim produksi) dan ke hilir (subsistim pemasaran) akan dapat dibangun dengan lebih mudah dan lebih efektif

F.       Penutup

Landasan teoritis dalam pengembangan teknologi pangan yang disampaikan Prof. M. Qazuini telah memberikan arah dan justifikasi yang kuat tentang urgensi dan prioritas litkaji dan pengembangan teknologi pangan. Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat secara efektif mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan pemasaran hasil pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi dan konsumsi), dan keberhasilan swasta (kasus Garudafood) dan daerah (kasus Pemerintah Daerah Gorontalo) dalam pengembangan agribisnis jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis pengembangan teknologi pangan. Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas teknologi; pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan komoditas prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja secara luas; pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan pengembangan program Primatani berbasis industri pengolahan.

Daftar Pusaka

Apriyantono, A. 2006. Kinerja dan Kebijakan Strategis Pembangunan Pangan Nasional. Makalah disampaikan pada “Silahturahmi Nasional Anggota Legislatif Partai Keadilan Sejahtera”, di Auditorium BPPT, Jl. .H. Thamrin No. 8, Jakarta, 30 April 2006.
Damardjati, D.S. 2006. Kebijakan dan Program Nasional Pengembangan Agribisnis Palawija. Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija, UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Departemen Pertanian, Jakarta.
Muhammad, F. 2006. Pengembangan Infrastruktur sebagai Pilar Menuju Pembangunan Pertanian Modern di Gorontalo. Seminar Nasional Agribisnis Berbasis Palawija. UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.
Nainggolan, K. 2006. Kebijakan Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Nainggolan, K. 2006. Peran Agribisnis Palawija dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan. Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija. Seminar Nasional Agribisnis Berbasis Palawija. UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.
Sibarani, F.M.A. 2006, Kemitraan Agroindustri Palawija. Seminar Nasional Nasional Agribisnis Berbasis Palawija. UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.

Senin, 19 November 2012

Bioteknologi, Solusi Hadapi Krisis Pangan

Bioteknologi adalah jalan keluar atau solusi menghadapi tantangan dan ancaman krisis pangan dunia, termasuk Indonesia. Koordinator Asia bidang Program Keamanan Hayati (program for biosafety system) Julian Adams mengatakan bahwa rekayasa genetika tanaman pangan dengan bioteknologi harus dilakukan dan dikembangan demi mengantisipasi ancaman krisis pangan dunia yang diramalkan akan memuncak mulai tahun 2050 kelak.

"Bioteknologi juga bisa menjadi jawaban perubahan iklim global, krisis air, sekaligus pengurangan pestisida dan emisi karbon dunia," ujar Julian Adams usai berbicara dalam seminar Agricultural Biotechnology di Universitas Jember, Kamis, 27 september 2012.

Pakar bioteknologi dari University of Michigan itu menambahkan badan pangan dunia (FAO) meramalkan akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan sebanyak 60 persen agar penduduk dunia tidak terpuruk dalam kemiskinan dan kelaparan. "Pemuliaan varietas tanaman pegangan, seperti beras, jagung, tebu, dan gandum dengan memanfaatkan bioteknologi harus terus dilakukan," kata dia.

Rekayasa genetika itu, katanya, harus dilakukan untuk mendapatkan beberapa varietas tanaman yang memiliki ketahanan perubahan iklim. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir perubahan iklim tidak bisa diprediksi. Akibatnya, mulai banyak terjadi kekeringan dan banjir yang sangat merugikan tanaman para petani sebagai produsen pangan.

Pakar ilmu biologi molekuler dari Universitas Jember, Bambang Sugiharto, mengatakan, perubahan iklim serta pertumbuhan penduduk yang semakin cepat merupakan ancaman ketahanan pangan. Dampak perubahan iklim yang membuat terganggunya organisme tanaman dan kondisi tanah ikut berpengaruh pada produksi pangan. "Pemerintah dan praktisi pertanian harus serius mencari solusi yang cepat dan tepat guna. Bioteknologi bisa menjadi jawabannya," katanya.

Bioteknologi untuk pemuliaan varietas tanaman saat ini berbeda dengan beberapa tahun lalu. "Dulu, bioteknologi dengan cara eksploitasi potensi kimiawi mikroba untuk mengahasilkan barang atau jasa, sekarang dengan memilih dan mengembangkan sifat genetis yang unggul," katanya.

Dengan teknologi rekayasa genetika atau genetic engineering, para pemulia dapat merakit varietas-varietas baru yang tahan dengan permasalahan pertanian, seperti penyakit dan hama, genangan air, salinitas, dan kekeringan. Rekayasa genetika itu, kata dia, membuat "organisme baru" produk bioteknologi dengan sifat-sifat yang menguntungkan bagi manusia seperti jagung dan padi tahan hama serta tahan cuaca ekstrim.

Di beberapa negara seperti Jepang dan Thailand, kata Sugiharto, penggunaan bioteknologi mulai dari hulu sampai hilir sudah bisa dimanfaatkan masyarakat, termasuk para petani. "Mereka telah mendapatkan manfaat secara ekonomis dengan meningkatnya produksi pangan, pengurangan biaya pestisida dan tenaga kerja, efisiensi lahan dan pengolahan tanah serta dampak positif terhadap lingkungan dengan berkurangnya emisi gas rumah kaca," kata penemu tebu yang tahan terhadap kekeringan itu.

MAHBUB DJUNAIDY


Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/09/27/061432310/Bioteknologi-Solusi-Hadapi-Krisis-Pangan

Situasi dan keadaan harga beberapa bahan pangan pokok di pasar Kabupaten Deli Serdang bulan Oktober 2012

Situasi dan keadaan harga beberapa bahan pangan pokok di pasar Kabupaten Deli Serdang bulan Oktober 2012 secara rata-rata dapat di download di sini

Kamis, 26 Juli 2012

MEMAKNAI NILAI TUKAR PETANI

Akhir-akhir ini NTP (Nilai Tukar Petani) menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan oleh berbagai media massa di Provinsi Jambi. Penyebabnya, NTP Provinsi Jambi pada akhir tahun 2011 ternyata lebih rendah dibandingkan dengan NTP nasional. Dari data yang dipublikasi oleh BPS (Badan Pusat Statistik) diperoleh NTP Provinsi Jambi pada bulan November 2011 untuk tanaman pangan sebesar 94,50; hortikultura sebesar 92,07; tanaman perkebunan rakyat sebesar 96,86; dan peternakan sebesar 97,93. Sementara itu angka NTP nasional untuk masing-masing sub sektor diatas didapat NTP sebesar: 105,03; 108,70; 107,55 dan 101,29. Rendahnya angka NTP ini tentunya mengkhawatirkan para pengambil kebijakan di daerah ini karena NTP sejauh ini digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.

Apa NTP itu?
BPS menyusun definisi NTP sebagai perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsep NTP menyatakan tingkat kemampuan tukar atas barang-barang (produk) yang dihasilkan petani di pedesaan terhadap barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi pertanian. Dari definisi ini jelas bahwa NTP merupakan indeks perbandingan harga barang, bukan merupakan perbandingan nilai pendapatan dan pengeluaran petani yang sesungguhnya menjadi ukuran kesejahteraan.
Perhitungan It (t=diterima) dilakukan dengan menggunakan harga produk yang dihasilkan oleh petani pada tingkat produsen (petani). Harga pada tahun 2007 dijadikan sebagai pembanding baku dengan nilai 100. Jika pada waktu tertentu nilai suatu produk yang dihasilkan petani lebih mahal dari harga baku tahun 2007 maka It dari produk tersebut bernilai lebih besar dari 100. Sebaliknya, jika harga produk tersebut lebih murah dari harga baku tahun 2007 maka It produk tersebut akan lebih kecil dari 100.
Metode perhitungan serupa juga dilakukan terhadap Ib (b=bayar). Komponen yang digunakan untuk menghitung harga yang dibayar petani meliputi konsumsi rumah tangga dan biaya produksi. Konsumsi rumah tangga terdiri atas bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan; rekreasi dan olah raga, transportasi dan komunikasi. Sedangkan biaya produksi mencakup bibit, obat-obatan dan pupuk, transportasi dan komunikasi, sewa lahan; pajak dan lainnya, penambahan barang modal, dan upah buruh tani. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa komponen yang menentukan Ib ini sangat beragam dan banyak jumlahnya karena mencakup berbagai kebutuhan sehari-hari keluarga petani dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu ketepatan dalam memformulasikan jenis dan komposisi barang yang dibutuhkan oleh keluraga petani ini menjadi salah satu aspek penting dalam menentukan akurasi perhitungan NTP.
Angka NTP merupakan hasil pembagian It dengan Ib dikalikan dengan 100. Dengan demikian maka NTP yang lebih besar dari 100 dapat diartikan sebagai tingginya laju pertumbuhan harga produk yang dihasilkan petani dibandingkan dengan pertumbuhan harga barang yang dibutuhkan petani. Jika diasumsikan bahwa tingkat produksi pertanian yang dihasilkan oleh rumah tangga petani tetap maka dengan meningkatnya nilai NTP akan meningkatkan daya beli petani terhadap barang yang dibutuhkannya.

Hubungan NTP dengan Kesejahteraan
Sebagaimana yang sering dilangsir oleh media massa bahwa NTP merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani. Muncul pertanyaan apakah dengan meningkatnya NTP petani sudah dapat dikatakan sejahtera. Begitu juga sebaliknya, apakah rendahnya NTP otomatis dapat disimpulkan bahwa petani melarat. Tentu jawaban kedua pertanyaan diatas adalah “tidak”. Hal ini dapat dijelaskan karena kesejahteraan ditentukan jumlah pendapatan dan pengeluaran petani. Sementara itu pendapatan petani ditentukan oleh perkalian antara harga dengan tingkat produksi barang yang dihasilkan petani. Walaupun NTP meningkat tajam tetapi produk pertanian yang dihasilkan petani jumlahnya sedikit maka tetap saja petani tidak sejahtera karena pendapatan yang diperoleh tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka.
Analogi dari penjelasan diatas sekaligus memberikan pemahaman bahwa NTP tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan petani di wilayah yang berbeda. Artinya, walaupun NTP Provinsi Jambi lebih rendah daripada NTP Sumatera Selatan bukan berarti bahwa petani di Provinsi Jambi lebih rendah tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan petani di Provinsi Sumatera Selatan. Nilai NTP Provinsi Jambi yang lebih rendah dari 100 lebih cocok diartikan sebagai kecenderungan menurunnya daya beli petani dibandingkan dari keadaan pada tahun 2007, apabila diasumsikan tingkat produksi petani pada kedua waktu tersebut sama.
Pada kasus tertentu dapat juga terjadi penurunan NTP justru diikuti dengan peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berikut ini disajikan contoh kasus tersebut. Apabila disuatu wilayah diterapkan program peningkatan produksi pertanian secara massal, misalnya dengan penggunaan benih unggul yang mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian, maka produksi pertanian di wilayah tersebut akan meningkat. Peningkatan produksi di suatu wilayah pada waktu bersamaan biasanya diikuti dengan penurunan harga produk pertanian, yang berakibat menurunnya It dan NTP. Sungguhpun NTP menurun tetapi produkivitas dan produksi hasil pertanian yang dihasilkan petani meningkat maka pendapatan petani tetap meningkat sekaligus akan meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani.

Memaknai NTP
Penjelasan dan ilustrasi diatas bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa NTP tidak perlu diperhatikan tetapi ingin mengajak kita semua agar lebih bijak dalam menggunakan NTP. Hal penting yang harus dipahami bahwa NTP merupakan indeks pembanding harga rentang waktu (time series). Sedangkan harga merupakan salah satu komponen penentu pendapatan petani. Dengan asumsi pada tingkat produksi pertanian rumah tangga petani yang tetap maka penurunan NTP akan cenderung menurunkan kemampuan rumah tangga tersebut untuk membeli barang yang mereka butuhkan. Dengan demikian maka kesejahteraan petani secara relatif juga akan semakin menurun. Begitu juga sebaliknya pada keadaan terjadinya peningkatan NTP.
Salah satu topik yang menjadi perhatian pengambil kebijakan adalah bagaimana cara meningkatkan NTP. Hal ini ini menjadi penting karena upaya peningkatan NTP merupakan salah satu faktor penentu untuk meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani. Jika dikembalikan ke dalam konteks NTP sebagai indeks harga maka upaya untuk mengubah NTP harus dilakukan dengan mengubah harga, dalam hal ini It dan Ib. Oleh karena itu upaya peningkatan NTP haruslah tertuju pada kegiatan yang terkait dengan peningkatan It dan atau penurunan Ib. Upaya yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan produksi hasil pertanian, yang tidak ada hubungannya dengan harga, tidak berpengaruh terhadap NTP. Namun, peningkatan produktivitas menjadi penting untuk meningkatkan produksi hasil pertanian, yang tentunya diharapkan berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Melihat kondisi yang ditemui di sejumlah lokasi sentra pertanian di Provinsi Jambi dapat dipastikan bahwa sarana transportasi menjadi faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap harga barang di tingkat petani. Buruknya sarana transportasi ke lokasi produksi pertanian akan menurunkan It dan meningkatkan Ib. Oleh karena itu perbaikan infrastruktur transportasi ke sentra-sentra produksi pertanian menjadi aspek yang sangat berperan dalam upaya mendongkrak NTP.
Selain itu yang kalah pentingnya adalah upaya yang terkait dengan peningkatan posisi tawar (bargaining power) petani dalam setiap transaksi agribisnis mereka. Rendahnya harga jual produk hasil pertanian seringkali disebabkan oleh ketidakmampuan petani dalam bertransaksi dengan pedagang perantara. Untuk itu upaya membina kekuatan bersama petani seperti pengembangan koperasi petani diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan posisi tawar petani, sekaligus harga jual hasil produksi pertanian mereka. Oleh karena itu kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan petani menjadi salah satu jalan guna meningkatkan atau paling tidak mempertahankan NTP (Dimuat pada hari "Jambi Ekspres" tanggal 30 Januari 2012)

Sumber : http://blog-husni.blogspot.com/2012/04/memaknai-nilai-tukar-petani.html

Rabu, 25 Juli 2012

Bulog Mart Siap Disebar di Seluruh Indonesia

Badan Urusan Logistik (Bulog) akan membangun 35 outlet Bulog Mart sebelum lebaran 2012. Sementara sepanjang tahun ini, Bulog menargetkan akan siap membangun sekitar 100 outlet Bulog Mart yang disebar di seluruh Indonesia.

"35 outlet itu target kita dalam waktu dekat ini. Paling tidak sebelum lebaran," ujar Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog, Sutarto Alimoeso, di Jakarta, Sabtu (21/7).

Sutarto menjelaskan, Bulog Mart tersebut nantinya akan menjadi grosir untuk menjembatani Bulog dengan pedagang pasar tradisional. Untuk itu, dia berharap, keberadaan Bulog Mart tersebut akan menjadi jawaban pasti atas keterbatasan dan minimnya pasokan kebutuhan ke pasara-pasar.

"Dengan Bulog Mart, kita berharap, persoalan-persoalan, terkait keterbatsan, dan minimnya pasokan di pasar bisa teratasi," terangnya.

Beberapa bahan kebutuhan pokok akan dijual di Bulog Mart, sebut Sutarto, sebagai langkah awal, akan dipasok tiga komoditas utama, yakni beras, minyak goreng, dan gula.

"Ini hanya tahap awal, nantinya akan terus ditambah, untuk semua kebutuhan bahan pokok masyarakat," jelasnya.

Sutarto bilang, beberapa daerah telah menyatakan kesiapannya untuk membuka outlet Bulog Mart di daerahnya. Antara lain, Bandung, Makassar, Semarang, Malang, dan Lampung.

Rencana pengadaan Bulog Mart tersebut, disambut positif oleh Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI).

"Tentu Bulog Mart akan sangat membantu masyarakat. Karena, selain harga yang tetap stabil, juga ketersediaan pasokan dijamin," kata Sekretaris Jenderal APPSI, Ngadiran.

Menurutnya, dengan adanya Bulog Mart tersebut, juga dapat meminimalisir kecurangan terhadap pedagang kecil.

"Selama ini pedagang, terutama pengecer, masih sering dicurangi oleh pedagang besar yang bisa memainkan harga," tegasnya.

Sumber : http://jaringnews.com/ekonomi/sektor-riil/19217/bulog-mart-siap-disebar-di-seluruh-indonesia

Harga Kedelai Merangkak Karena Pengusaha Ingin Berjaga-jaga

Naiknya harga eceran kedelai belakangan ini telah mengkhawatirkan sejumlah perajin tahu dan tempe. Harga eceran yang sudah menembus Rp8000 per kilogram  membuat para perajin tempe berencana melakukan mogok produksi pada 25-27 Juli ini. Berbagai pihak menuduh adanya kartel importir kedelai yang membuat harga kedelai melambung tinggi.

Namun, hal ini ditepis oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Jimanto. Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat harga eceran kedelai merangkak naik belakangan ini. Pertama adalah terbatasnya stok kedelai dunia dikarenakan musim kering yang berkepanjangan. Sementara sebelumnya, China telah menimbun stok dengan melakukan impor besar-besaran.

“Sebelum terjadi kenaikan harga kedelai dunia, maka pengusaha dalam negeri menaikkan harga karena mereka perlu mengamankan keuangannya. Sebab jika mereka tidak menaikkan harga, mereka tidak dapat melakukan impor lagi dalam jumlah yang sama dengan sebelumnya,” kata Jimanto ketika dihubungi hari ini (23/7).

Kedua, Jimanto menengarai memang terjadi peningkatan permintaan menjelang lebaran. Karena pasok yang kurang maka harga pun naik.

“Saya tidak melihat ada kartel sebagai penyebab melonjaknya harga. Yang terjadi adalah pengusaha melakukan tindakan-tindakan pengamanan cash flow, tindakan berjaga-jaga karena mengantisipasi kenaikan harga kedelai dunia,” tambah dia.

Sebagai solusi, Jimanto menyarankan agar Pemerintah kembali mengatur tataniaga kedelai. “Kedelai ini sudah menjadi komoditas strategis. Jadi harus diatur. Dikembalikan ke Bulog, seperti Bulog mengatur beras,” tutur dia.

Dengan demikian Pemerintah harus mempunyai stok kedelai, sehingga pada saat harga kedelai merangkak naik, Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan menambah pasok ke pasar.

Sebelumnya diberitakan bahwa Ketua II Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Sutaryo mendesak agar pemerintah segera turun tangan. Ia berharap pemerintah tidak hanya menangani kenaikan harga daging ayam, telur, dan daging sapi  tetapi harga kedelai juga.

Sebagai informasi,  Indonesia masih mengimpor kedelai sedikitnya sekitar 1,4 sampai 1,6 juta ton per tahun. Kebutuhan nasional bisa mencapai 2,2 juta ton per tahun dan Indonesia hanya memproduksi 600 ribu ton sampai 800 ribu ton per tahunnya.

Sumber : http://jaringnews.com/ekonomi/sektor-riil/19316/harga-kedelai-merangkak-karena-pengusaha-ingin-berjaga-jaga

Cari Cara Taklukan Kedelai Impor

Naiknya harga kedelai impor membuat semua pihak mulai berpikir keras. Produsen tahu dan tempe berupaya mencari jalan keluar dengan menaikkan harga jual dua makanan berbahan dasar kedelai itu. Malah, ada juga yang mogok memproduksi sebagai respon dari mahalnya kacang yang didatangkan dari Amerika itu. Di edisi Harga Kedelai Naik, Perajin Diajak Mogok, Selasa (24/7), Radar Tasikmalaya (Grup JPNN) mengupas tentang rencana mogok para produsen tahu dan tempe, pengurangan produksi, naiknya harga jual, berkurang omzet penggilingan kedelai hingga rencana tukang gorengan berbahan dasar tahu dan tempe mengecilkan ukuran dan menaikkan harga jual. Kali ini Radar menanyakan upaya dewan dan pemerintah untuk melindungi warganya dari kesulitan akibat harga kedelai naik? Ketua Komisi II DPRD Kota Tasikmalaya Ade Ruhimat berpendapat perlu penghapusan bea masuk impor kedelai dan pengembangan kedelai lokal. Hal itu dinilainya bisa menjadi solusi menekan kenaikan harga kedelai yang saat ini terus naik. Harga kedelai kualitas menengah saat ini –-yang banyak digunakan produsen tahu dan tempe-- telah naik menjadi Rp 7.950 per kilo dari semula hanya Rp 7.000 per kilo. Harga tersebut diprediksi akan terus merangkak naik hingga mendekati harga Rp 10.000 per kilogram. “Karena kedelai kita masih impor, (solusinya) pertama adalah bea masuk impornya yang selama ini lima persen di-cut (dipotong) jadi nol persen. Itu akan mengurangi harga kacang kedelai (impor),” ujar Ade saat ditemui di Gedung DPRD Kota Tasikmalaya kemarin (24/7). Kemudian, para petani lokal harus mengembangkan kedelai lokal. Dengan syarat kualitas kedelai lokal harus mampu menyamai kualitas kedelai impor. Jika tidak, maka, pengembangan kedelai lokal tidak akan mampu membantu para perajin tahu tempe memecahkan permasalahan kenaikan harga yang terus terjadi selama ini. “Selama dua ini (dua cara) tidak terlaksana. Dalam artian pemerintah enggan menghapus bea masuk kedelai dan petani enggan menanam (kedelai), saya kira persoalan tempe tahu ini akan terus menjadi blunder dari tahun ke tahun,” jelasnya politisi PKS ini. Namun solusi itu, kata dia, hanya bisa dilakukan pemerintah pusat. Karena pengurusan bea masuk berada di pusat. Sementara pemerintah daerah, kata dia, tidak akan berdaya menanggulangi sendirian permasalahan kenaikan harga kedelai karena permasalahan kenaikan harga terjadi secara nasional. “Kita tidak akan berdaya karena itu kan seharusnya dari pusat dan Kementerian Pertanian yang bekerjasama (mencarikan solusi),” katanya. Dihubungi terpisah, Kepala Bulog Sub Drive Ciamis Ali Ardi mengungkapkan pihaknya saat ini sudah melepas pengelolaan komoditi pokok ke pasaran, terkecuali beras, karena Dolog tidak mampu membantu secara maksimal akibat keterbatasan kapasitas pengelolaan. “Sekarang kedelai itu sudah sudah dilepas ke pasar. Itu kita juga tidak tahu kendalinya bagaimana. Jadi harga (harga kedelai) terbentuk oleh harga pasaran,” kata Ali. Meski demikian, kata dia, Bulog tetap akan membantu dengan melakukan koordinasi kepada sejumlah distributor kedelai agar harga kedelai tidak terlalu melambung. “Ketika reformasi dulu, IMF, tidak memberikan monopoli untuk komoditi, kecuali beras. Sekarang kita ingin itu (semua komoditi) bisa kembali diatur oleh kita. Memang di mana-mana sekarang teriak masalah ini (harga kedelai, red),” tuturnya. Sementara itu Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya Tio Indra Setiadi menilai solusi petani untuk mengembangkan kedelai lokal belum tentu bisa menjadi pemutus permasalahan. Karena saat ini menurutnya, kualitas kedelai lokal kalah dengan kedelai impor. “Kalah dari segi kualitas. Katanya aci-nya (sari kedelai) kurang bagus. Kalau dari segi lahan mungkin Tasik bisa mengembangkan kedelai. Tetapi apakah kualitasnya bisa bersaing dengan kedelai dari Thailand dan Amerika?” ujarnya balik bertanya. Apalagi menurutnya, tidak semua lahan bisa ditanami kedelai dengan kualitas bagus. Karena ada syarat-syarat tertentu untuk menghasilkan kedelai kualitas baik. Jika petani lokal ingin bertanam kedelai, maka harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu terhadap produktivitas dan tingkat kesuburan lahan. Pengkajian itu bisa meliputi ketinggian tanah dan suhu udara. “Saya dulu di Majalengka ada satu sentra kedelai di sana. Bagus, jadi incaran pengusaha tahu dan tempe. Tapi begitu kran (impor) dari Thailand dan Amerika dibuka, ya kualitas ini kalah dan tidak semua lahan itu bisa ditanami dengan kedelai kualitas bagus,” papar Tio, menjelaskan pengalaman ditempat kelahirannya.

Sumber : http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=134725

Rabu, 20 Juni 2012

Pisang akan Punah Pada 2013?





Pisang sebagai buah bernutrisi memiliki peran penting dalam pola makan manusia. Selama ini kita patut bersyukur karena pisang mudah ditemukan di mana-mana di Indonesia. Namun, beberapa ahli meramalkan buah kuning ini akan punah tahun depan. Apa sebabnya?

Keberadaan pisang sebagai tanaman pangan utama dunia sedang terancam. Bukan karena berkurangnya lahan, tetapi akibat penyakit. Majalah NewScientist edisi 18 Januari 2003 pun menjadikan masalah ini sebagai topik utama dengan judul 'Last Days of The Banana'. Di sampulnya terdapat ilustrasi nisan bertuliskan 'The Banana RIP, Killed by Plague, 2013'. Bagaimanapun juga, hal ini dapat dicegah dengan kolaborasi ilmiah dan kerja sama internasional.

Hal ini disampaikan oleh Profesor James Dale pada seminar 'Banana for the 21st Centuries: Pushing Back the Threat of Extinction' di Kedutaan Besar Australia, Selasa (19/6). James adalah Direktur Pusat Tanaman Tropis dan Biokomoditas di Queensland University of Technology, Australia.

James mengawali presentasinya dengan menghadirkan data-data terkait pisang. Menurut James, pisang adalah tanaman buah terpenting di dunia. Pasalnya, si kuning panjang ini merupakan komponen kunci dalam diet di negara-negara tropis.

Selain menjadi dessert di negara barat, pisang juga berperan sebagai makanan pokok di sebagian wilayah Afrika dan Asia. Pisang dapat diekspor dan bisa menjadi sumber pemasukan penting bagi negara. Tak hanya buahnya yang berguna, tapi juga daun, jantung, pelepah, serta batangnya.

Sayangnya, populasi pisang dunia terancam dengan keberadaan penyakit mematikan. Sebut saja black sigatoka, fusarium wilt (tropical race 4), blood disease, banana bunchy top, serta xanthomonas wilt. Filipina, Malaysia, dan Australia pernah terkena wabah fusarium wilt (tropical race 4), sementara Malawi pernah mengalami banana bunchy top, sehingga pohonnya tidak dapat menghasilkan buah.

James mengajukan beberapa solusi bagi masalah ini, yakni pengendalian kimia dan biologis, pembiakan konvensional, serta modifikasi genetis. Dibanding pilihan lain, modifikasi genetis dianggap paling memungkinkan dan paling efektif oleh James. Selain untuk meningkatkan ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit atau musim kemarau, modifikasi genetis juga dapat meningkatkan nilai gizi buah pisang serta mempertinggi kualitasnya.

Saat ini James dan timnya sedang mengerjakan serangkaian penelitian untuk menjaga kelestarian dan keberagaman pisang. Ia juga memastikan pisang yang nutrisinya telah diperkaya akan sudah ditanam sebelum dekade ini berakhir.

Dr. David Engel, Charge d'Affaires Australia, bangga akan kehadiran Profesor James ke Indonesia. "Semoga risetnya dapat menginspirasi para ilmuwan, ahli pertanian, dan pakar teknologi pangan di Indonesia serta dapat memperkuat kerjasama penelitian dengan Australia," kata David.

Sumber : http://food.detik.com/read/2012/06/20/075347/1945712/294/pisang-akan-punah-pada-2013?dthlutama