Kamis, 03 November 2011

RUU Pangan Membuka Pintu Liberalisasi


Kritik tentang isi RUU Pangan makin deras mengalir dari kampus. Kali ini disuarakan oleh guru besar Ekonomi Pertanian/Agribisnis Universitas Gajah Mada, Masyhuri. Sang profesor dengan tegas menyatakan keberatannya terhadap konten RUU Pangan, yang mengindikasikan pengalihan wewenang dalam mengelola pangan kepada pemerintah daerah. “Saya tidak setuju jika urusan pangan 100% diserahkan ke daerah,” tegasnya.
Masalahnya, dengan konsep desentralisasi pangan membabi buta, maka tujuan untuk memperkuat ketahanan pangan malah tidak tercapai. “Yang terjadi justru makin suburnya liberalisasi pangan. Maksudnya supaya pengelolaan pangan tidak terbawa arus liberalisasi, eh malah semakin liberal,” ungkap Masyhuri.
Alasannya, pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah akan membuka pintu liberalisasi lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi yang terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak profitable.

“Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga tidak menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan utama dan beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara serah yang defisit pangan bakal semakin terjepit, karena terus bergantung pada impor,” ungkapnya. Nah, dalam kondisi tersebut, maka pintu-pintu liberalisasi akan terbuka. Dari pintu-pintu kecil di daerah itulah, kapitalisme akan masuk membawa kepentingan asing, untuk kemudian menguasai pangan strategis secara nasional.

Para penggagas RUU Pangan mengasumsikan pemerintah daerah kuat dalam manajemen pangan. Kenyataannya, menurut Masyhuri, pemerintah daerah sangat lemah, lantaran kemampuan sumberdaya manusia di daerah sangat terbatas. “Melalui pemda-pemda yang lemah itulah kepentingan asing akan masuk. Jika sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia lemah, maka kepentingan asing pun semakin menguasai pengelolaan pangan di negeri ini,” ujarnya.

Desentralisasi pangan, menurut Masyhuri, akan menciptakan ketidak seragaman dalam pengelolaan pangan. “Ada pemda yang protektif , namun ada pula yang liberal,” ucapnya. Kondisi demikian bakal menciptakan ketidakstabilan di level nasional.

Agar tidak tercipta kondisi seperti itu, maka pemerintah pusat harus tetap mengontrol komoditas strategis seperti beras dan gula. “Wewenang untuk menetapkan targetproduksi, distribusi dan penetapan harga komoditas strategis itu harus berada di tangan pemerintah pusat,” ujar Masyhuri.

Tetapi Masyhuri juga menyarankan mengkombinasikan kewenangan pusat dan daerah agar terjadi keseimbangan. Daerah boleh diberi wewenang dalam hal mengelola komoditas pangan non strategis, sesuai dengan potensi masing-masing. Misalnya sayur-sayuran untuk Kabupaten Bandung (Jawa Barat), garam untuk Gresik dan Madura, kelapa sawit untuk Sumatera dan Kalimantan, dan lainnya.
Masyhuri meyakini, perubahan kebijakan tidak boleh dilakukan secara drastis. Apalagi menyangkut urusan pangan yang merupakan kebutuhan hajat hidup orang banyak. Nampaknya, revisi Undang-Undang tentang Pangan itu dilakukan secara drastis, sehingga dikhawatirkan terjadi gejolak sosial. “Kalau nanti jadi kalang kabut, ujung-ujungnya direvisi lagi. Karena itu, DPR jangan memaksakan pengesahan RUU Pangan yang belum sempurna. Perlu ada sosialisasi dan masukan dari para ahli baik dari kalangan birokrat maupun perguruan tinggi, juga mendengar lebih dahulu usulan pemerintah daerah,” tutur Masyhuri. (HP)

Sumber : http://www.gatra.com/hukum/31-hukum/4218-ruu-pangan-membuka-pintu-liberalisasi-

Selasa, 01 November 2011