Kamis, 26 Juli 2012

MEMAKNAI NILAI TUKAR PETANI

Akhir-akhir ini NTP (Nilai Tukar Petani) menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan oleh berbagai media massa di Provinsi Jambi. Penyebabnya, NTP Provinsi Jambi pada akhir tahun 2011 ternyata lebih rendah dibandingkan dengan NTP nasional. Dari data yang dipublikasi oleh BPS (Badan Pusat Statistik) diperoleh NTP Provinsi Jambi pada bulan November 2011 untuk tanaman pangan sebesar 94,50; hortikultura sebesar 92,07; tanaman perkebunan rakyat sebesar 96,86; dan peternakan sebesar 97,93. Sementara itu angka NTP nasional untuk masing-masing sub sektor diatas didapat NTP sebesar: 105,03; 108,70; 107,55 dan 101,29. Rendahnya angka NTP ini tentunya mengkhawatirkan para pengambil kebijakan di daerah ini karena NTP sejauh ini digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.

Apa NTP itu?
BPS menyusun definisi NTP sebagai perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsep NTP menyatakan tingkat kemampuan tukar atas barang-barang (produk) yang dihasilkan petani di pedesaan terhadap barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi pertanian. Dari definisi ini jelas bahwa NTP merupakan indeks perbandingan harga barang, bukan merupakan perbandingan nilai pendapatan dan pengeluaran petani yang sesungguhnya menjadi ukuran kesejahteraan.
Perhitungan It (t=diterima) dilakukan dengan menggunakan harga produk yang dihasilkan oleh petani pada tingkat produsen (petani). Harga pada tahun 2007 dijadikan sebagai pembanding baku dengan nilai 100. Jika pada waktu tertentu nilai suatu produk yang dihasilkan petani lebih mahal dari harga baku tahun 2007 maka It dari produk tersebut bernilai lebih besar dari 100. Sebaliknya, jika harga produk tersebut lebih murah dari harga baku tahun 2007 maka It produk tersebut akan lebih kecil dari 100.
Metode perhitungan serupa juga dilakukan terhadap Ib (b=bayar). Komponen yang digunakan untuk menghitung harga yang dibayar petani meliputi konsumsi rumah tangga dan biaya produksi. Konsumsi rumah tangga terdiri atas bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan; rekreasi dan olah raga, transportasi dan komunikasi. Sedangkan biaya produksi mencakup bibit, obat-obatan dan pupuk, transportasi dan komunikasi, sewa lahan; pajak dan lainnya, penambahan barang modal, dan upah buruh tani. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa komponen yang menentukan Ib ini sangat beragam dan banyak jumlahnya karena mencakup berbagai kebutuhan sehari-hari keluarga petani dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu ketepatan dalam memformulasikan jenis dan komposisi barang yang dibutuhkan oleh keluraga petani ini menjadi salah satu aspek penting dalam menentukan akurasi perhitungan NTP.
Angka NTP merupakan hasil pembagian It dengan Ib dikalikan dengan 100. Dengan demikian maka NTP yang lebih besar dari 100 dapat diartikan sebagai tingginya laju pertumbuhan harga produk yang dihasilkan petani dibandingkan dengan pertumbuhan harga barang yang dibutuhkan petani. Jika diasumsikan bahwa tingkat produksi pertanian yang dihasilkan oleh rumah tangga petani tetap maka dengan meningkatnya nilai NTP akan meningkatkan daya beli petani terhadap barang yang dibutuhkannya.

Hubungan NTP dengan Kesejahteraan
Sebagaimana yang sering dilangsir oleh media massa bahwa NTP merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani. Muncul pertanyaan apakah dengan meningkatnya NTP petani sudah dapat dikatakan sejahtera. Begitu juga sebaliknya, apakah rendahnya NTP otomatis dapat disimpulkan bahwa petani melarat. Tentu jawaban kedua pertanyaan diatas adalah “tidak”. Hal ini dapat dijelaskan karena kesejahteraan ditentukan jumlah pendapatan dan pengeluaran petani. Sementara itu pendapatan petani ditentukan oleh perkalian antara harga dengan tingkat produksi barang yang dihasilkan petani. Walaupun NTP meningkat tajam tetapi produk pertanian yang dihasilkan petani jumlahnya sedikit maka tetap saja petani tidak sejahtera karena pendapatan yang diperoleh tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka.
Analogi dari penjelasan diatas sekaligus memberikan pemahaman bahwa NTP tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan petani di wilayah yang berbeda. Artinya, walaupun NTP Provinsi Jambi lebih rendah daripada NTP Sumatera Selatan bukan berarti bahwa petani di Provinsi Jambi lebih rendah tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan petani di Provinsi Sumatera Selatan. Nilai NTP Provinsi Jambi yang lebih rendah dari 100 lebih cocok diartikan sebagai kecenderungan menurunnya daya beli petani dibandingkan dari keadaan pada tahun 2007, apabila diasumsikan tingkat produksi petani pada kedua waktu tersebut sama.
Pada kasus tertentu dapat juga terjadi penurunan NTP justru diikuti dengan peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berikut ini disajikan contoh kasus tersebut. Apabila disuatu wilayah diterapkan program peningkatan produksi pertanian secara massal, misalnya dengan penggunaan benih unggul yang mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian, maka produksi pertanian di wilayah tersebut akan meningkat. Peningkatan produksi di suatu wilayah pada waktu bersamaan biasanya diikuti dengan penurunan harga produk pertanian, yang berakibat menurunnya It dan NTP. Sungguhpun NTP menurun tetapi produkivitas dan produksi hasil pertanian yang dihasilkan petani meningkat maka pendapatan petani tetap meningkat sekaligus akan meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani.

Memaknai NTP
Penjelasan dan ilustrasi diatas bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa NTP tidak perlu diperhatikan tetapi ingin mengajak kita semua agar lebih bijak dalam menggunakan NTP. Hal penting yang harus dipahami bahwa NTP merupakan indeks pembanding harga rentang waktu (time series). Sedangkan harga merupakan salah satu komponen penentu pendapatan petani. Dengan asumsi pada tingkat produksi pertanian rumah tangga petani yang tetap maka penurunan NTP akan cenderung menurunkan kemampuan rumah tangga tersebut untuk membeli barang yang mereka butuhkan. Dengan demikian maka kesejahteraan petani secara relatif juga akan semakin menurun. Begitu juga sebaliknya pada keadaan terjadinya peningkatan NTP.
Salah satu topik yang menjadi perhatian pengambil kebijakan adalah bagaimana cara meningkatkan NTP. Hal ini ini menjadi penting karena upaya peningkatan NTP merupakan salah satu faktor penentu untuk meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani. Jika dikembalikan ke dalam konteks NTP sebagai indeks harga maka upaya untuk mengubah NTP harus dilakukan dengan mengubah harga, dalam hal ini It dan Ib. Oleh karena itu upaya peningkatan NTP haruslah tertuju pada kegiatan yang terkait dengan peningkatan It dan atau penurunan Ib. Upaya yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan produksi hasil pertanian, yang tidak ada hubungannya dengan harga, tidak berpengaruh terhadap NTP. Namun, peningkatan produktivitas menjadi penting untuk meningkatkan produksi hasil pertanian, yang tentunya diharapkan berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Melihat kondisi yang ditemui di sejumlah lokasi sentra pertanian di Provinsi Jambi dapat dipastikan bahwa sarana transportasi menjadi faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap harga barang di tingkat petani. Buruknya sarana transportasi ke lokasi produksi pertanian akan menurunkan It dan meningkatkan Ib. Oleh karena itu perbaikan infrastruktur transportasi ke sentra-sentra produksi pertanian menjadi aspek yang sangat berperan dalam upaya mendongkrak NTP.
Selain itu yang kalah pentingnya adalah upaya yang terkait dengan peningkatan posisi tawar (bargaining power) petani dalam setiap transaksi agribisnis mereka. Rendahnya harga jual produk hasil pertanian seringkali disebabkan oleh ketidakmampuan petani dalam bertransaksi dengan pedagang perantara. Untuk itu upaya membina kekuatan bersama petani seperti pengembangan koperasi petani diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan posisi tawar petani, sekaligus harga jual hasil produksi pertanian mereka. Oleh karena itu kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan petani menjadi salah satu jalan guna meningkatkan atau paling tidak mempertahankan NTP (Dimuat pada hari "Jambi Ekspres" tanggal 30 Januari 2012)

Sumber : http://blog-husni.blogspot.com/2012/04/memaknai-nilai-tukar-petani.html

Rabu, 25 Juli 2012

Bulog Mart Siap Disebar di Seluruh Indonesia

Badan Urusan Logistik (Bulog) akan membangun 35 outlet Bulog Mart sebelum lebaran 2012. Sementara sepanjang tahun ini, Bulog menargetkan akan siap membangun sekitar 100 outlet Bulog Mart yang disebar di seluruh Indonesia.

"35 outlet itu target kita dalam waktu dekat ini. Paling tidak sebelum lebaran," ujar Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog, Sutarto Alimoeso, di Jakarta, Sabtu (21/7).

Sutarto menjelaskan, Bulog Mart tersebut nantinya akan menjadi grosir untuk menjembatani Bulog dengan pedagang pasar tradisional. Untuk itu, dia berharap, keberadaan Bulog Mart tersebut akan menjadi jawaban pasti atas keterbatasan dan minimnya pasokan kebutuhan ke pasara-pasar.

"Dengan Bulog Mart, kita berharap, persoalan-persoalan, terkait keterbatsan, dan minimnya pasokan di pasar bisa teratasi," terangnya.

Beberapa bahan kebutuhan pokok akan dijual di Bulog Mart, sebut Sutarto, sebagai langkah awal, akan dipasok tiga komoditas utama, yakni beras, minyak goreng, dan gula.

"Ini hanya tahap awal, nantinya akan terus ditambah, untuk semua kebutuhan bahan pokok masyarakat," jelasnya.

Sutarto bilang, beberapa daerah telah menyatakan kesiapannya untuk membuka outlet Bulog Mart di daerahnya. Antara lain, Bandung, Makassar, Semarang, Malang, dan Lampung.

Rencana pengadaan Bulog Mart tersebut, disambut positif oleh Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI).

"Tentu Bulog Mart akan sangat membantu masyarakat. Karena, selain harga yang tetap stabil, juga ketersediaan pasokan dijamin," kata Sekretaris Jenderal APPSI, Ngadiran.

Menurutnya, dengan adanya Bulog Mart tersebut, juga dapat meminimalisir kecurangan terhadap pedagang kecil.

"Selama ini pedagang, terutama pengecer, masih sering dicurangi oleh pedagang besar yang bisa memainkan harga," tegasnya.

Sumber : http://jaringnews.com/ekonomi/sektor-riil/19217/bulog-mart-siap-disebar-di-seluruh-indonesia

Harga Kedelai Merangkak Karena Pengusaha Ingin Berjaga-jaga

Naiknya harga eceran kedelai belakangan ini telah mengkhawatirkan sejumlah perajin tahu dan tempe. Harga eceran yang sudah menembus Rp8000 per kilogram  membuat para perajin tempe berencana melakukan mogok produksi pada 25-27 Juli ini. Berbagai pihak menuduh adanya kartel importir kedelai yang membuat harga kedelai melambung tinggi.

Namun, hal ini ditepis oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Jimanto. Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat harga eceran kedelai merangkak naik belakangan ini. Pertama adalah terbatasnya stok kedelai dunia dikarenakan musim kering yang berkepanjangan. Sementara sebelumnya, China telah menimbun stok dengan melakukan impor besar-besaran.

“Sebelum terjadi kenaikan harga kedelai dunia, maka pengusaha dalam negeri menaikkan harga karena mereka perlu mengamankan keuangannya. Sebab jika mereka tidak menaikkan harga, mereka tidak dapat melakukan impor lagi dalam jumlah yang sama dengan sebelumnya,” kata Jimanto ketika dihubungi hari ini (23/7).

Kedua, Jimanto menengarai memang terjadi peningkatan permintaan menjelang lebaran. Karena pasok yang kurang maka harga pun naik.

“Saya tidak melihat ada kartel sebagai penyebab melonjaknya harga. Yang terjadi adalah pengusaha melakukan tindakan-tindakan pengamanan cash flow, tindakan berjaga-jaga karena mengantisipasi kenaikan harga kedelai dunia,” tambah dia.

Sebagai solusi, Jimanto menyarankan agar Pemerintah kembali mengatur tataniaga kedelai. “Kedelai ini sudah menjadi komoditas strategis. Jadi harus diatur. Dikembalikan ke Bulog, seperti Bulog mengatur beras,” tutur dia.

Dengan demikian Pemerintah harus mempunyai stok kedelai, sehingga pada saat harga kedelai merangkak naik, Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan menambah pasok ke pasar.

Sebelumnya diberitakan bahwa Ketua II Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Sutaryo mendesak agar pemerintah segera turun tangan. Ia berharap pemerintah tidak hanya menangani kenaikan harga daging ayam, telur, dan daging sapi  tetapi harga kedelai juga.

Sebagai informasi,  Indonesia masih mengimpor kedelai sedikitnya sekitar 1,4 sampai 1,6 juta ton per tahun. Kebutuhan nasional bisa mencapai 2,2 juta ton per tahun dan Indonesia hanya memproduksi 600 ribu ton sampai 800 ribu ton per tahunnya.

Sumber : http://jaringnews.com/ekonomi/sektor-riil/19316/harga-kedelai-merangkak-karena-pengusaha-ingin-berjaga-jaga

Cari Cara Taklukan Kedelai Impor

Naiknya harga kedelai impor membuat semua pihak mulai berpikir keras. Produsen tahu dan tempe berupaya mencari jalan keluar dengan menaikkan harga jual dua makanan berbahan dasar kedelai itu. Malah, ada juga yang mogok memproduksi sebagai respon dari mahalnya kacang yang didatangkan dari Amerika itu. Di edisi Harga Kedelai Naik, Perajin Diajak Mogok, Selasa (24/7), Radar Tasikmalaya (Grup JPNN) mengupas tentang rencana mogok para produsen tahu dan tempe, pengurangan produksi, naiknya harga jual, berkurang omzet penggilingan kedelai hingga rencana tukang gorengan berbahan dasar tahu dan tempe mengecilkan ukuran dan menaikkan harga jual. Kali ini Radar menanyakan upaya dewan dan pemerintah untuk melindungi warganya dari kesulitan akibat harga kedelai naik? Ketua Komisi II DPRD Kota Tasikmalaya Ade Ruhimat berpendapat perlu penghapusan bea masuk impor kedelai dan pengembangan kedelai lokal. Hal itu dinilainya bisa menjadi solusi menekan kenaikan harga kedelai yang saat ini terus naik. Harga kedelai kualitas menengah saat ini –-yang banyak digunakan produsen tahu dan tempe-- telah naik menjadi Rp 7.950 per kilo dari semula hanya Rp 7.000 per kilo. Harga tersebut diprediksi akan terus merangkak naik hingga mendekati harga Rp 10.000 per kilogram. “Karena kedelai kita masih impor, (solusinya) pertama adalah bea masuk impornya yang selama ini lima persen di-cut (dipotong) jadi nol persen. Itu akan mengurangi harga kacang kedelai (impor),” ujar Ade saat ditemui di Gedung DPRD Kota Tasikmalaya kemarin (24/7). Kemudian, para petani lokal harus mengembangkan kedelai lokal. Dengan syarat kualitas kedelai lokal harus mampu menyamai kualitas kedelai impor. Jika tidak, maka, pengembangan kedelai lokal tidak akan mampu membantu para perajin tahu tempe memecahkan permasalahan kenaikan harga yang terus terjadi selama ini. “Selama dua ini (dua cara) tidak terlaksana. Dalam artian pemerintah enggan menghapus bea masuk kedelai dan petani enggan menanam (kedelai), saya kira persoalan tempe tahu ini akan terus menjadi blunder dari tahun ke tahun,” jelasnya politisi PKS ini. Namun solusi itu, kata dia, hanya bisa dilakukan pemerintah pusat. Karena pengurusan bea masuk berada di pusat. Sementara pemerintah daerah, kata dia, tidak akan berdaya menanggulangi sendirian permasalahan kenaikan harga kedelai karena permasalahan kenaikan harga terjadi secara nasional. “Kita tidak akan berdaya karena itu kan seharusnya dari pusat dan Kementerian Pertanian yang bekerjasama (mencarikan solusi),” katanya. Dihubungi terpisah, Kepala Bulog Sub Drive Ciamis Ali Ardi mengungkapkan pihaknya saat ini sudah melepas pengelolaan komoditi pokok ke pasaran, terkecuali beras, karena Dolog tidak mampu membantu secara maksimal akibat keterbatasan kapasitas pengelolaan. “Sekarang kedelai itu sudah sudah dilepas ke pasar. Itu kita juga tidak tahu kendalinya bagaimana. Jadi harga (harga kedelai) terbentuk oleh harga pasaran,” kata Ali. Meski demikian, kata dia, Bulog tetap akan membantu dengan melakukan koordinasi kepada sejumlah distributor kedelai agar harga kedelai tidak terlalu melambung. “Ketika reformasi dulu, IMF, tidak memberikan monopoli untuk komoditi, kecuali beras. Sekarang kita ingin itu (semua komoditi) bisa kembali diatur oleh kita. Memang di mana-mana sekarang teriak masalah ini (harga kedelai, red),” tuturnya. Sementara itu Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya Tio Indra Setiadi menilai solusi petani untuk mengembangkan kedelai lokal belum tentu bisa menjadi pemutus permasalahan. Karena saat ini menurutnya, kualitas kedelai lokal kalah dengan kedelai impor. “Kalah dari segi kualitas. Katanya aci-nya (sari kedelai) kurang bagus. Kalau dari segi lahan mungkin Tasik bisa mengembangkan kedelai. Tetapi apakah kualitasnya bisa bersaing dengan kedelai dari Thailand dan Amerika?” ujarnya balik bertanya. Apalagi menurutnya, tidak semua lahan bisa ditanami kedelai dengan kualitas bagus. Karena ada syarat-syarat tertentu untuk menghasilkan kedelai kualitas baik. Jika petani lokal ingin bertanam kedelai, maka harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu terhadap produktivitas dan tingkat kesuburan lahan. Pengkajian itu bisa meliputi ketinggian tanah dan suhu udara. “Saya dulu di Majalengka ada satu sentra kedelai di sana. Bagus, jadi incaran pengusaha tahu dan tempe. Tapi begitu kran (impor) dari Thailand dan Amerika dibuka, ya kualitas ini kalah dan tidak semua lahan itu bisa ditanami dengan kedelai kualitas bagus,” papar Tio, menjelaskan pengalaman ditempat kelahirannya.

Sumber : http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=134725