Rabu, 08 Februari 2012

Belajar Cara Eropa Cegah Pangan Terbuang Sia-sia

UE menaruh perhatian sangat serius untuk mengatasi makanan layak dan sehat terbuang sia- sia dalam rumahtangga, supermarket, restoran, dan rantai pasokan pangan.

Makanan yang terbuang sia-sia itu diupayakan untuk direduksi hingga setengahnya pada 2025 dan meningkatkan akses pangan bagi warga UE yang membutuhkan, demikian resolusi Parlemen UE yang telah diadopsi Kamis (19/1/2012).

Makanan terbuang sia-sia saat ini di 27 negara anggota UE mencapai 50% dari total konsumsi yakni 89 juta ton atau 179 kg per kapita per tahun. Diproyeksikan untuk tahun 2020 jumlah makanan terbuang mubazir itu akan naik 40% menjadi 126 juta ton, jika tidak ada tindakan yang diambil.

Makanan yang terbuang sia-sia sebanyak itu rinciannya 42% berasal dari rumahtangga (yang sebenarnya 60% dari jumlah itu dapat dihindari), produsen 39%, pengecer 5%, dan sektor catering 14%.

Langkah- langkah

Langkah-langkah yang akan dilakukan UE antara lain pendidikan yang lebih baik lagi untuk menghindari pemborosan berlebihan.

Disebutkan, untuk mengurangi secara drastis makanan terbuang sia-sia, kampanye kesadaran baru harus digencarkan baik di tingkat UE maupun nasional dengan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana menghindari pemborosan makanan.

Negara-negara anggota UE harus mengenalkan kepada sekolah dan perguruan tinggi mengenai penjelasan bagaimana menyimpan, memasak serta membuang makanan dan juga pertukaran pengalaman terbaik untuk tujuan tersebut.

Untuk mempromosikan gagasan penggunaan pangan berkelanjutan, parlemen menyerukan agar di 2014 ditetapkan sebagai Tahun Eropa Melawan Limbah Pangan.

Selain itu akan diberlakukan label dan kemasan yang tepat.Untuk menghindari situasi di mana pengecer menawarkan makanan terlalu dekat tanggal kadaluwarsa, sehingga meningkatkan potensi pemborosan, pelabelan tanggal ganda akan diperkenalkan.

Tujuan pelabelan tanggal ganda ini untuk menunjukkan sampai kapan makanan boleh dijual (sell-by date) dan sampai kapan boleh dikonsumsi (use-by date).

Komisi Eropa dan negara anggota pertama-tama tetap harus memastikan pelanggan memahami perbedaan antara label yang saat ini digunakan di UE, seperti tanggal terkait-kualitas (best before) dan tanggal terkait-keselamatan (use-by).

Untuk memungkinkan konsumen hanya membeli sejumlah yang mereka butuhkan, kemasan makanan harus ditawarkan dalam berbagai ukuran dan dirancang untuk melindungi makanan lebih baik lagi.

Makanan dekat dengan tanggal kedaluwarsa dan produk makanan yang rusak harus dijual dengan harga diskon, untuk membuatnya lebih mudah diakses oleh orang yang membutuhkan.

Aturan pengadaan untuk catering dan perhotelan harus diperbarui untuk memastikan bahwa sedapat mungkin kontrak diberikan kepada perusahaan catering yang menggunakan produk lokal dan mendermakan makanan sisa untuk orang miskin atau posko makanan gratis, bukan hanya membuangnya.

Langkah-langkah dukungan tingkat UE seperti mendistribusikan makanan untuk warga yang kurang mampu atau program-program yang mendorong konsumsi buah-buahan dan susu di sekolah juga harus ditarget ulang dengan maksud untuk mencegah makanan terbuang sia-sia.

Parlemen Eropa juga menyambut inisiatif di beberapa negara anggota untuk menyelamatkan makanan yang tidak terjual lalu menawarkannya kepada warga miskin dan meminta pengecer untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Bagaimana Indonesia?
(es/es)

Sumber : http://finance.detik.com/read/2012/01/21/152435/1821867/4/belajar-cara-eropa-cegah-pangan-terbuang-sia-sia 

SBY: Ada Jutaan Orang Tidur Tak Nyenyak karena Perut Lapar

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingatkan pentingnya ketahanan pangan atau food security yang harus dilakukan Indonesia. Saat ini banyak penduduk di berbagai negara harus kelaparan karena kekurangan pangan.

"Makanan yang tidak cukup juga berkaitan dengan food security Lantas, di dunia ini ada ratusan juta (orang) yang tidurnya tidak nyenyak karena perutnya lapar. Masih ada yang mengalami persoalan itu, maka ada persoalan dengan food security," kata SBY dalam acara Food Security Summit, di JCC, Jakarta, Selasa (7/2/2012)

Ia mengatakan pangan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat manusia. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kapasitas untuk memproduksi pangan harus bisa berperan dengan kerjasama internasional di bidang pangan.


SBY menambahkan ancaman ketahanan pangan juga terjadi di dalam negeri. Namun pemerintah akan berupaya terus mengatasi masalah itu, terkait dengan kasus kekurangan pangan, masalah produksi pangan bagi petani dan lain-lain.

"Pada 2006 bulan Juli, berkunjung ke Papua. 6 bulan sebelumnya ada kasus kekurangan pangan bahkan ada satu dua yang meninggal. Pemerintah bergerak cepat dalam waktu 6 bulan melakukan sesuatu dengan pemda, penduduk lokal memastikan untuk bercocok tanam yan tahan gangguan. Saya datang ada perubahan signifikan," katanya.

Pada kesempatan itu juga SBY menuturkan kisahnya soal kondisi masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan ketahanan pangan. Misalnya, ia bercerita soal kunjungannya ke kampung nelayan, bertemu dengan petani kedelai yang kehidupannya tidak berkembang sehingga secara langsung mempengaruhi produksi pangan.

"Kalau insentif petani, nilai tukar kecil mereka tidak mau menanam. Akan berkaitan dengan supply. Maka ini juga mengganggu food security," katanya.

Ia juga menuturkan kisahnya saat berkunjung ke para petani bawang merah di Brebes yang mengeluhkan rendahnya harga jual produksi mereka. Jika ini dibiarkan maka akan berkaitan dengan ketahanan pangan. Apalagi disaat yang bersamaan permintaan pangan terus bertambah dengan produksi yang berlawanan.

"Demand akan terus meningkat karena penduduk bertambah. Kedua, middle class juga meningkat sehingga membuat komoditas pangan itu meningkat dan meningkatkan daya beli karena mengkonsumsi pangan lebih besar lagi," katanya.

SBY mengakui beberapa permasalahan lainnya yang masih dijumpai di dalam negeri terkait ketahanan pangan antaralain kasus kekeruagnan gizi dan pangan. Masalah penghasilan petani yang masih rendah, produksi yang turun dan lain-lain.

"Mari tidak lengah dan sungguh sangat serius untuk menemukan cara efektif untuk mengatasi masalah itu. Orang cerdas adalah mengubah krisis menjadi peluang, jika kekurangan beras, itu bukan masalah tapi peluang dan ruang untuk memproduksi sesuatu. Sehingga ekonomi tumbuh dan kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi, berpikir dari krisis ke opportunity," katanya.

sumber : http://finance.detik.com/read/2012/02/07/161945/1836488/4/sby-ada-jutaan-orang-tidur-tak-nyenyak-karena-perut-lapar?991101mainnews 

Selasa, 07 Februari 2012

Kuota Impor Ikan Sumut 11 Ribu Ton

Medan, (Analisa). Kuota impor ikan yang masuk ke Provinsi Sumatera Utara melalui Pelabuhan Belawan Medan mulai Juni hingga Desember 2011 sebanyak 11, 165 ribu ton.
Data yang dihimpun dari Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Medan II, Sabtu menyebutkan, dari 11,165 ribu ton kuota impor ikan tersebut, sebanyak 6,066,042 ribu ton di antaranya telah terealisasi.

"Masih ada sisa kuota impor ikan tahun 2011 di Sumatera Utara (Sumut) yang belum direalisasikan oleh beberapa perusahaan importir," kata Kepala Stasiun Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Medan II, Felix Lumban Tobing.

Dia memperkirakan ada beberapa faktor yang menyebabkan beberapa perusahaan importir tidak memanfaatkan kuota impor secara maksimal .

Faktor penyebabnya, antara lain surat izin usaha mereka kemungkinan sudah habis masa berlakunya dan permintaan pasar terhadap ikan impor di Sumut berkurang karena pasokan dari nelayan lokal meningkat.

Dia membenarkan, selama Januari 2012 masih ada sejumlah ikan impor yang masuk melalui Pelabuhan Belawan. Ikan impor yang masuk melalui dermaga peti kemas internasional Pelabuhan Belawan tersebut merupakan sisa kuota untuk Sumatera Utara tahun 2011.

Total ikan impor yang masuk melalui Pelabuhan Belawan selama Januari 2012 sebanyak 811,790 ton.

Komoditi ikan konsumsi yang diimpor oleh enam perusahaan itu dominan terdiri dari jenis makarel.

Sebagian besar ikan impor tersebut berasal dari China dan India Jenis ikan yang boleh diimpor, antara lain octopus frozen, scallops frozen, marine fish, udang, kepiting hidup, ikan tuna skipjack, ikan sarden beku dan ikan mackarel beku.

Ketentuan tersebut mengacu Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kelautan dan Perikanan Nomor 231 Tahun 2011 tentang Pengaturan Jenis-jenis Ikan yang Dapat Diimpor.

Felix menambahkan, pihaknya hingga kini belum memperoleh surat pemberitahuan resmi tentang volume kuota impor ikan di Sumut tahun 2012, termasuk nama-nama perusahaan importirnya.

Izin importasi ikan berikut kuotanya selama ini dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan RI. Sekretaris Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB), J. Sembiring mengakui, impor ikan masih perlu direalisasikan bila pasokan ikan di dalam negeri relatif menurun.(Ant)

Sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2012/02/06/33842/kuota_impor_ikan_sumut_11_ribu_ton/#.TzEGRIFg_R0

Senin, 06 Februari 2012

Bijak Mengatur Pangan

Terhitung sampai akhir tahun lalu, penduduk dunia mencapai 7 miliar jiwa. Jumlah ini, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, akan menjadi 9 miliar jiwa pada tahun 2045.

Angka ini sangat menggetarkan sebab masalahnya bukan semata pada angka yang besar itu, melainkan bagaimana menyediakan pangan yang cukup dengan harga terjangkau semua warga dunia. Dilema yang muncul adalah pertambahan penduduk dunia otomatis mengurangi lahan pertanian dan perkebunan. Sementara pada saat yang sama, pertambahan penduduk itu otomatis membutuhkan tambahan ketersediaan pangan dan juga lahan pertanian.

Tahun ini, dengan intensifikasi pertanian dan perkebunan, dunia masih kewalahan menyediakan pangan yang cukup untuk warga sejagat. Masih menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), dari 7 miliar penduduk tersebut, 1 miliar di antaranya kelaparan dan atau kekurangan pangan. Fakta muram ini diperparah dengan adanya sekitar 2 miliar penduduk kelebihan berat badan.

Urgensi pengadaan dan ketersediaan pangan ini tampak dari diangkatnya topik ini dalam berbagai forum elite dunia, seperti pertemuan G-20 di Cannes, Perancis, pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Honolulu, Amerika Serikat, dan pada forum ASEAN di Bali. Semua forum ini praktis dihadiri para kepala negara.
Kini, dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, pekan depan, masalah pangan ini akan menjadi salah satu topik pembahasan. Ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, dalam beberapa kolomnya juga menyinggung tentang pentingnya masalah pangan mendapat perhatian semua negara.

Bagi Indonesia, masalah pangan, khususnya beras, menjadi persoalan besar. Untuk beras, kuota impor tahun 2011 adalah 1,6 juta ton. Adapun realisasi impor mencapai 2,16 juta ton. Sebagian dari total impor ini adalah sisa impor tahun 2010 yang baru direalisasikan tahun 2011.

Besarnya impor beras Indonesia secara langsung membuat harga beras dunia terguncang keras. Indonesia malah disebut sebagai negara yang memicu kenaikan harga beras karena besaran impornya tadi, sebab Indonesia membeli 1,5 juta ton sampai 2 juta ton beras dari sekitar 8 juta ton beras yang berada di pasaran dunia.

Tahun 2012 belum diketahui berapa kuota impor beras. Indonesia sejauh ini masih menggenggam asa untuk swasembada pangan sekalipun terasa sulit direalisasikan, mengingat belum tampak usaha keras yang signifikan guna meraih swasembada beras.
Karena itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agrobisnis, Pangan, dan Peternakan Franky Oesman Widjaja, yang diberi kesempatan tampil di Davos, akan mengangkat masalah pangan ini. Inisiatif itu dimaksudkan menggugah semua pihak di level dunia dan dalam negeri untuk menyadari bahwa masalah beras ini amat krusial.

Semisal untuk Indonesia perlu dianjurkan upaya keras untuk mengurangi konsumsi beras. Kini, konsumsi beras nasional 113 kilogram per kapita (data lain menyebutkan 136 kg), sementara sejumlah negara tetangga maksimal hanya 60 kg per tahun per kapita. Indonesia pun tercatat sebagai negara dengan penduduk pengidap diabetes terbesar keempat di dunia. Menekan konsumsi beras bisa mengurangi jumlah pengidap diabetes ini.

Franky mengetengahkan perlunya diversifikasi pangan sebagai salah satu jawaban persoalan beras ini, di samping peningkatan produktivitas lahan. Tidak semua warga mesti makan nasi setiap hari. Atau, bisa mulai dari upaya ”kecil”, misalnya, dalam seminggu ada satu hari, warga tidak makan nasi sama sekali.
Perlu dikampanyekan lebih konkret di lapangan. Harus ada semacam ajakan untuk menyapa publik bahwa makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi. Biar disambut positif, gerakan ini harus persuasif dan bijak.

Sumber: Kompas.com