Kamis, 10 November 2011

Membangun Kedaulatan Pangan




Oleh : Posman Sibuea. Situasi pangan Indonesia masih mengandung kerawanan karena pasokan yang ada hanya bisa pas-pasan mengimbangi pertambahan penduduk. Padahal, sebagai negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, risikonya terlalu besar apabila hanya puas dengan keadaan pangan yang sekarang ini. Kalau kita puas dengan keadaan pangan yang pas-pasan, itu berarti kita akan selalu dihantui oleh kerawanan pangan, kerawanan ekonomi, dan social. Hal ini disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Boediono pada peringatan Hari Pangan Sedunia ke-31 di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Kamis (20/10).
Persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Pertumbuhan produksi beras selama 10 tahun belakangan ini hanya sekitar 1,0 persen per tahun, di bawah pertumbuhan penduduk yang besarnya rata-rata 1,6 persen per tahun.

Kini Indonesia tercatat sebagai importir beras terbesar di dunia dan menjadi importir gula kedua terbesar di dunia. Jika kita tidak menemukan cara untuk meningkatkan produksi pangan, maka Indonesia sebagai bangsa yang merdeka tidak memiliki kedaulatan untuk menyediakan pangan secara mandiri bagi warganya, sebab kebutuhan dasar yang satu ini amat tergantung bangsa lain. Eksploitasi negara maju akan kian nyata merubuhkan kedaulatan kita sebagai bangsa sebab keunggulan sumber daya pertanian kita tak cukup sakti untuk menjadikan negeri ini berdaulat di bidang pangan.

Persoalan inilah yang mengemuka ketika Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PAPTI) Sumut menggelar Seminar dengan tema "Peranan Teknologi Pangan dalam Mengatasi Krisis Pangan" dan sub tema "Pengembangan Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Membangun Katahanan Pangan Nasional" pada hari Kamis, 20 Oktober 2011 di Aula Poltekes Medan. Sebagai organisasi profesi yang mengurusi pangan dan implikasi teknologinya, PATPI menyadari bahwa ada sekitar 970 juta penduduk dunia mengalami kelaparan dan kurang gizi, karena pemenuhan hak atas pangannya terganggu.

Kemiskinan

Faktor penghambat utama pemenuhan hak atas pangan adalah kemiskinan. Menurut BPS (2011), hampir 33 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini mengalami pemiskinan dan rentan menjadi miskin. Hal ini tidak seiring lagi dengan kesepakatan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yang akan mengurangi jumlah orang yang kelaparan (dan kemiskinan) menjadi separuh pada tahun 2015.

Jumlah orang yang kelaparan dan rentan mengalami kelaparan sebagai derivasi kemiskinan nyaris tak berubah, kendati era reformasi sudah berumur 14 tahun. Subsidi beras untuk rakyat miskin (raskin) pada tahun 2012 yang ditingkatkan, menjadi bukti. Penerima raskin akan bertambah dari 15,78 juta rumah tangga miskin pada tahun 2010 menjadi 19,1 juta rumah tangga miskin pada tahun 2011. Implikasinya, kran impor beras sudah pasti dibuka dan jumlah bertambah secara signifikan.
Proses "berasisasi" makanan pokok menempatkan produk olahan padi ini amat strategis dalam persoalan politik pangan di negeri ini. Masalah beras seolah tidak ada habisnya. Setidaknya, dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini sejak reformasi digulirkan, pemerintah acap terseok-seok menanganinya. Rezim boleh berganti, persoalan beras selalu berulang dan tidak pernah terselesaikan. Jika musim panen datang petani berteriak dari lahannya karena harga gabah anjlok di bawah harga dasar.

Patut diduga hampir lebih separuh dari mereka yang mengalami kelaparan dan kurang gizi itu berasal dari buruh tani dan petani gurem yang memiliki lahan pertanian kurang dari setengah hektar. Petani kerap terjerat dalam siklus menyengsarakan. Setiap kali panen tiba, harga gabah selalu jatuh. Mereka tidak sepenuhnya memahami hukum penawaran dan permintaan sehingga kerap tidak berdaya.

Keterpurukan nasib petani dalam pemasaran produk pertaniannya terjadi karena posisi tawar mereka lemah terhadap pasar. Setiap hari, pahlawan ketahanan pangan ini selalu didesak kebutuhan riil untuk mendapatkan uang kontan. Akibatnya, mereka tak berdaya ketika tengkulak menawar gabah mereka dengan harga rendah.

Ada hal paradoks, mengapa untuk impor beras pemerintah punya dana, tapi untuk membeli gabah petani pemerintah tidak punya uang yang cukup? Ketahanan pangan – bukan kedaulatan pangan (food sovereignty) – dapat diwujudkan lewat impor, asal mampu membayar. Banyak negara yang miskin sumber daya alam, seperti Singapura dan Jepang, mereka tak peduli apakah pangannya dari produksi sendiri atau impor.

Namun, untuk Indonesia yang jumlah penduduknya telah mencapai 240 juta jiwa, impor beras memiliki dampak yang amat buruk di masa datang. Sedikit saja terjadi fluktuasi harga di pasar beras internasional bisa memukul ketahanan pangan nasional dan memunculkan masalah serius bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pemerintah patut menyadari proses berasisasi warisan rezim Orde Baru yang kini berlangsung secara masif di seluruh wilayah Indonesia, suatu saat bisa berbuah bencana kemanusiaan.

Kedaulatan Bangsa

Persoalan pengadaan pangan untuk semua warga, sebaiknya didekati dari aspek kedaulatan pangan. Ketersediaan pangan yang beragam, bergizi dan terjangkau daya beli erat kaitannya dengan menegakkan kedaulatan bangsa. Berdaulat di bidang pangan memiliki arti mampu mengatur sendiri pangan untuk rakyatnya tanpa ada intervensi kebijakan dari negara lain dan diharapkan menjadi eksportir pangan yang andal untuk beberapa komoditi pangan. Ini menunjukkan kepada dunia, Indonesia adalah bangsa yang kuat di sektor pertanian.

Kedaulatan pangan makin dibutuhkan ketika negara-negara maju kian gencar memasarkan produk pertaniannya ke Indonesia dan kita tidak lagi menjadi bangsa terjajah dalam menentukan kebutuhan pangan sendiri.

Hal ini sekaligus menegakkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dalam menentukan kebutuhan pangan rakyatnya. Kebijakan pangan nasional harus steril dari berbagai tekanan pihak asing sehingga sebagai bangsa yang berdaulat atas pangan, Indonesia tak perlu menerima infus pemberdayaan dari kekuatan luar seperti IMF atau Bank Dunia.

Hasil penelitian Bank Dunia (2006) yang menuding tingginya harga beras telah memicu pertambahan jumlah penduduk miskin, bisa menjadi contoh betapa kentalnya pengaruh asing dalam kebijakan pangan nasional.

Jumlah orang miskin yang disebutkan Bank Dunia sebesar 109 juta, menempatkan pemerintah pada dua pilihan, mengorbankan petani atau konsumen beras.


Seperti biasanya, pemerintah selalu mengorbankan petani untuk membela konsumen beras di perkotaan dengan membuka keran impor beras. Hal ini sesungguhnya bisa melemahkan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.

Jalan pintas impor beras tanpa mengatasi akar masalah peningkatan produksi beras, telah mencederai kedaulatan pangan.

Ketergantungan pangan pada pihak luar di tengah kesuburan lahan yang dimiliki Indonesia menunjukkan stigma bangsa yang malas dan etos kerja yang memble. Ini juga memperjelas kegagalan negara mengelola sumber daya manusia Indonesia untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian.

Merdeka dari tekanan pangan impor dan berdaulat dalam urusan pangan adalah bentuk kebebasan yang memberi rasa hormat dan harga diri yang harus ditegakkan.

Semangat kesadaran untuk mencukupi kebutuhan pangan dari kekuatan sendiri akan menyemaikan roh patriotisme berbangsa dan bernegara.

Guna memutus mata rantai impor beras menuju kedaulatan pangan, pengelolaan pangan masyarakat (stock management) lewat mendirikan lumbung pangan di setiap kota kecamatan atau desa merupakan langkah strategis.

Lumbung pangan tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan saat produksi berlebih, namun juga berperan sebagai sarana penundaan penjualan untuk sementara waktu sampai harga berada pada tingkat yang memberikan keuntungan kepada petani.

Pemerintah harus memfasilitasi petani untuk bersatu mendirikan lumbung pangan bersama, tempat mereka bisa menyimpan sebagian hasil panennya.

Suatu saat, di masa tak ada panen, hasil gabahnya bisa dijual secara bersama sehingga akan mendapatkan harga yang baik. Implikasinya, lumbung pangan secara bersama-sama merupakan alat untuk meningkatkan posisi tawar petani di tengah globalisasi perekonomian yang kian kompetetif. Maka di masa datang diperlukan pengembangannya ke arah konsep lumbung pangan modern dengan manajemen terpadu guna mewujudkan kedaulatan pangan.

Kebutuhan manajeman stok dalam konsep lumbung pangan modern tidak serta merta terjawab dengan adanya fasilitas pergudangan secara fisik.

Namun, konsep pengelolaan yang tepat dapat memberi solusi pemecahan masalah kemandirian pangan secara komprehensif. Memfasilitasi petani memperoleh sarana produksi pertanian guna meningkatkan produksi beras nasional dan membantu petani memperoleh harga dasar gabah pada saat panen raya merupakan langkah awal menuju kedaulatan pangan.

Untuk berdaulat atas pangan, pemerintah harus sungguh-sungguh melakukan revitalisasi pertanian yang berpusat pada kebijakan umum pertanahan dan tata ruang pertanian, pembangunan infrastruktur pedesaan, dan perdagangan produk pertanian.

Yang dibutuhkan saat ini kemampuan untuk mengimplementasikan sebuah rencana. Tanpa itu, pemenuhan hak atas pangan bagi seluruh warga hanya sebuah utopia.

Penulis adalah Guru Besar Ketahanan Pangan di Unika Santo Thomas SU. Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser), Medan, Sumatera Utara.

Sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2011/10/27/18972/membangun_kedaulatan_pangan/#.TrtoYXKojXA