Kamis, 01 Desember 2011

Perkuat Pengendalian Pangan Nasional


JAKARTA (Suara Karya): Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang kini dalam pembahasan diharapkan mampu membangun ketahanan pangan di Indonesia.
Dalam hal ini, Indonesia tidak lagi menjadi pasar produk pangan impor dari negara lain, namun harus mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri, bahkan bisa bersaing dalam perdagangan global.
Untuk itu, pemerintah harus lebih berfokus mendorong pembangunan sektor pertanian di berbagai wilayah dan memperkuat pengendalian pengelolaan masalah pangan nasional untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan.
Sebab, menurut pakar teknologi pangan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah, Ita Sulistyawati, pemerintah seharusnya tetap mengendalikan urusan pangan dan tidak menyerahkan kepada pemerintah daerah (pemda). "Desentralisasi pangan seperti yang ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan sebaiknya jangan dilakukan, terutama untuk urusan pangan yang sangat pokok," katanya menanggapi RUU Pangan yang tengah dalam proses pembahasan, di Jakarta, kemarin.
Apalagi, menurut dia, penerapan konsep desentralisasi pangan justru akan menimbulkan banyak masalah, terutama koordinasi antarpemerintah daerah. Sebab, dia menilai, kewenangan mengatur urusan pangan akan berisiko jika diserahkan ke pemda karena setiap pemda pasti memiliki kebijakan sendiri. Misalnya, kondisi persediaan pangan di setiap daerah berbeda, bergantung pada situasi dan kondisi wilayah setempat. Dengan demikian, ada daerah yang kondisi pangannya berlimpah dan ada daerah yang kekurangan.
Karena itu, dia mengatakan, jika kewenangan urusan pangan diserahkan ke masing-masing pemda, maka belum tentu pemda yang kebetulan memiliki stok pangan berlebih mau berbagi stok pangan ke daerah lain yang mungkin kekurangan. "Kondisi ini justru membuat pemerataan pangan di seluruh daerah tidak tercapai dan terjadi ketimpangan. Apalagi, setiap pemda memiliki peraturan daerah yang membuat urusan pangan diatur beragam regulasi," ujarnya.
Ita Sulistyawati juga mengatakan, masalah lain seputar desentralisasi pangan, bisa memengaruhi kestabilan harga komoditas pangan di daerah. Harga komoditas pangan akan sangat timpang antara daerah satu dan daerah lain.
Selama ini pemerintah sudah memetakan daerah-daerah yang menjadi sentra penghasil komoditas pangan. Namun, perkembangan ke depan bisa jadi lain jika konsep desentralisasi pangan diterapkan.
"Ada daerah yang sudah ditetapkan sebagai sentra produksi beras, misalnya, namun melihat potensi pengembangan pangan jenis lain lebih menjanjikan, kemudian mengganti budi daya padi dengan komoditas lain," katanya.
Menurut dia, jika hal kekhawatiran itu terjadi, dipastikan pemerintah akan kesulitan untuk menjaga kestabilan stok pangan, terutama beras yang selama ini masih menjadi sumber pangan utama masyarakat Indonesia. "Ditambah lagi, peran swasta yang diperbesar dalam sektor pangan. Ini membuat kian tak terkendali. Selama ini, urusan pangan ditangani pemerintah pusat saja masih susah terkendali, apalagi diserahkan ke daerah maupun swasta," tutur Ita.
Terkait hal itu, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan, Kementerian Pertanian sedang menyusun sejumlah agenda dan daftar inventarisasi masalah terkait pembahasan RUU Pangan. Menurut dia, inventarisasi dilakukan terkait upaya pemerintah untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan.
Menurut Rusman, salah satu poin yang harus menjadi perhatian dan analisis lebih mendalam adalah soal pembentukan badan otoritas pangan. Dalam RUU Pangan, badan otoritas pangan ini akan menggabungkan beberapa lembaga, seperti Bulog dan Badan Ketahanan Pangan. "Kita terus menganalisis secara mendalam soal pembentukan badan ini," kata Rusman.
Dia juga mengatakan, akan melakukan penataan terkait luas lahan tanaman pangan, khususnya padi, yang kondisinya banyak mengalami perubahan setiap tahunnya, dan adanya indikasi terjadi penyusutan. Untuk itu, pihaknya terus menyoroti masalah data tentang produksi dan konsumsi beras sebagai tanaman pangan utama (pokok) masyarakat sebagai landasan kuat dalam merumuskan kebijakan di sektor pertanian.
"Kita mengevaluasi angka produksi dan konsumsi beras masyarakat agar masalah ini tidak menjadi polemik berkepanjangan. Kita juga tengah melakukan pemetaan untuk menegaskan kembali luas persawahan di Indonesia," ucapnya.
Di sisi lain, berdasarkan survei dari Danareksa Research Institute (DRI) yang dirilis Rabu (30/11), sebagian besar konsumen masih khawatir terjadi kenaikan harga pangan selama bulan November

 Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=292175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar