Senin, 06 Februari 2012

Bijak Mengatur Pangan

Terhitung sampai akhir tahun lalu, penduduk dunia mencapai 7 miliar jiwa. Jumlah ini, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, akan menjadi 9 miliar jiwa pada tahun 2045.

Angka ini sangat menggetarkan sebab masalahnya bukan semata pada angka yang besar itu, melainkan bagaimana menyediakan pangan yang cukup dengan harga terjangkau semua warga dunia. Dilema yang muncul adalah pertambahan penduduk dunia otomatis mengurangi lahan pertanian dan perkebunan. Sementara pada saat yang sama, pertambahan penduduk itu otomatis membutuhkan tambahan ketersediaan pangan dan juga lahan pertanian.

Tahun ini, dengan intensifikasi pertanian dan perkebunan, dunia masih kewalahan menyediakan pangan yang cukup untuk warga sejagat. Masih menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), dari 7 miliar penduduk tersebut, 1 miliar di antaranya kelaparan dan atau kekurangan pangan. Fakta muram ini diperparah dengan adanya sekitar 2 miliar penduduk kelebihan berat badan.

Urgensi pengadaan dan ketersediaan pangan ini tampak dari diangkatnya topik ini dalam berbagai forum elite dunia, seperti pertemuan G-20 di Cannes, Perancis, pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Honolulu, Amerika Serikat, dan pada forum ASEAN di Bali. Semua forum ini praktis dihadiri para kepala negara.
Kini, dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, pekan depan, masalah pangan ini akan menjadi salah satu topik pembahasan. Ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, dalam beberapa kolomnya juga menyinggung tentang pentingnya masalah pangan mendapat perhatian semua negara.

Bagi Indonesia, masalah pangan, khususnya beras, menjadi persoalan besar. Untuk beras, kuota impor tahun 2011 adalah 1,6 juta ton. Adapun realisasi impor mencapai 2,16 juta ton. Sebagian dari total impor ini adalah sisa impor tahun 2010 yang baru direalisasikan tahun 2011.

Besarnya impor beras Indonesia secara langsung membuat harga beras dunia terguncang keras. Indonesia malah disebut sebagai negara yang memicu kenaikan harga beras karena besaran impornya tadi, sebab Indonesia membeli 1,5 juta ton sampai 2 juta ton beras dari sekitar 8 juta ton beras yang berada di pasaran dunia.

Tahun 2012 belum diketahui berapa kuota impor beras. Indonesia sejauh ini masih menggenggam asa untuk swasembada pangan sekalipun terasa sulit direalisasikan, mengingat belum tampak usaha keras yang signifikan guna meraih swasembada beras.
Karena itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agrobisnis, Pangan, dan Peternakan Franky Oesman Widjaja, yang diberi kesempatan tampil di Davos, akan mengangkat masalah pangan ini. Inisiatif itu dimaksudkan menggugah semua pihak di level dunia dan dalam negeri untuk menyadari bahwa masalah beras ini amat krusial.

Semisal untuk Indonesia perlu dianjurkan upaya keras untuk mengurangi konsumsi beras. Kini, konsumsi beras nasional 113 kilogram per kapita (data lain menyebutkan 136 kg), sementara sejumlah negara tetangga maksimal hanya 60 kg per tahun per kapita. Indonesia pun tercatat sebagai negara dengan penduduk pengidap diabetes terbesar keempat di dunia. Menekan konsumsi beras bisa mengurangi jumlah pengidap diabetes ini.

Franky mengetengahkan perlunya diversifikasi pangan sebagai salah satu jawaban persoalan beras ini, di samping peningkatan produktivitas lahan. Tidak semua warga mesti makan nasi setiap hari. Atau, bisa mulai dari upaya ”kecil”, misalnya, dalam seminggu ada satu hari, warga tidak makan nasi sama sekali.
Perlu dikampanyekan lebih konkret di lapangan. Harus ada semacam ajakan untuk menyapa publik bahwa makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi. Biar disambut positif, gerakan ini harus persuasif dan bijak.

Sumber: Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar