Selasa, 25 Oktober 2011

Menuju Ketahanan Pangan Nasional


Oleh : Donny Orlando. Bisa jadi tidak banyak dari kita  yang tahu bahwa hari ini  adalah World Food Day  (WFD) atau Hari Pangan Sedunia (HPS). HPS 16 Oktober mungkin bakal berlalu begitu sebagai sebuah seremonial belaka minus esensi. Mungkin pula HPS tahun ini tidak akan ada embel-embel, slogan ataupun pernyataan di pers tentang pentingnya terus-menerus mengingatkan pemerintah di bidang ketahanan pangan. Begitu pula pentingnya kesadaran akan pembangunan gizi yang tampaknya adem ayem.
"Food price volatility featuring high prices is likely to continue and possibly increase, making poor farmers, consumers and countries more vulnerable to poverty and food insecurity" 
(The State of Food Insecurity in the World 2011 – FAO, Roma, 10/10/11)

Dunia kini tengah menghadapi ancaman krisis pangan. Mahalnya harga pangan dengan fluktuasinya yang tidak menentu telah menempatkan ratusan juta orang di dunia terancam kehilangan akses pangan. Tidak terkecuali di negeri ini. Kini, strategi jangka panjang mutlak dibutuhkan.

Persoalan Pangan Global dan Dampaknya Bagi Indonesia

Tahun ini, peringatan HPS memasuki usianya yang ke-31. Peringatan ini berangkat dari tindak lanjut akan kesepakatan Konferensi FAO ke-20, November 1979, di Roma, Italia. Peringatan HPS ini bertepatan pula dengan tanggal terbentuknya Food and Agriculture Organization (FAO). Sejak saat itu, disepakatilah bahwa mulai tahun 1981, seluruh negara anggota FAO memperingati HPS secara nasional.

Ada yang berbeda pada HPS kali ini. Utamanya pada pemilihan temanya. Tahun ini, FAO mengangkat tema "FOOD CRISIS - FROM CRISIS TO STABILITY". Untuk tingkat nasional, HPS yang dijadwalkan dilaksanakan di Gorontalo 20-23 Oktober ini mengambil tema "Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional". Marilah sejenak kita telaah lebih lanjut.

Harga komoditas pangan yang mulai tidak terjangkau telah menjadi perhatian serius masyarakat global. Pergulatan ini tentunya akan terus terjadi di tengah ancaman ledakan jumlah manusia dan mulai terbatasnya sumber pangan. Belum lagi ditambah dampak langsung penurunan produktivitas pangan dunia akibat perubahan iklim global. Persoalan pangan ini pastilah akan bertambah rumit bila kepentingan energi juga diperhitungkan.

Dampak terbesar dari naiknya harga komoditas pangan adalah pada negara-negara miskin dan berkembang. Laporan Bank Dunia 2010-2011 sendiri telah menunjukkan bahwa kenaikan harga pangan dalam kurun waktu tersebut telah memaksa sedikitnya 70 juta jiwa pada kondisi kemiskinan ekstrim (extreme poverty). Bila ini kondisi ini tetap tidak terkendali, maka pada 2015, sebanyak 600 juta jiwa di dunia akan mengalami kekurangan pangan setiap harinya (FAO, 2011).

Bila ditelisik lebih jauh, volatilitas harga sesingkat apapun akan memberikan dampak jangka panjang terutama bagi penduduk miskin. Tinggi harga pangan jelas akan mengurangi secara signifikan asupan makanan keluarga. Jikalau hal ini terjadi pada asupan gizi anak pada 1000 hari pertamanya, maka dapat dipastikan kemunduran kapasitas anak yang berujung pada degradasi kualitas sumber daya manusia (SDM). Lebih lanjut, generasi emas bangsa pun menjadi taruhan.

Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun FAO memberikan catatan penting kepada Afrika, tapi bukan berarti Asia (khususnya Indonesia) menjadi bebas dari ancaman krisis pangan. Tingginya jumlah penduduk, mahalnya harga bahan makanan pokok, dan ketergantungan akan impor pangan yang besar berpotensi menjadi bom waktu.


Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2011 menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia mencapai 30,02 juta jiwa (12,49%). Angka ini diklaim turun sebanyak 1 juta jiwa bila dibandingkan pada Maret 2010 yang berjumlah 31,02 juta jiwa (13,33%). Prestasi ini juga senada dengan penurunan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan yang turun dari 0,58 menjadi 0,55 pada periode yang sama.

Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

Namun, kewaspadaan tetap mutlak diperlukan. Pada laporan yang sama pula, terlihat bahwa peranan komoditi makanan terhadap komponen Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan komoditi makanan cukup besar, yakni mencapi 73,52% pada Maret 2010 dan Maret 2011. Beras sebagai komoditi makanan pemberi sumbangan terbesar yang kemudian disusul telur ayam ras, mie instan, tempe, daging ayam ras, tahu, dan bawang merah.

Bila harga terus berfluktuasi, maka pengeluaran penduduk miskin untuk komoditi makanan pastilah semakin besar. Porsi pengeluaran pada makanan yang terlampau besar pastilah mengurangi jatah komoditi bukan makanan. Untuk makan sehari-hari saja sudah menjadi masalah, bagaimana lagi dengan biaya perumahan, listrik, pendidikan, dan angkutan.

Problem utama konsumsi di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) adalah masalah rantai makanan (food chains).

Masyarakat di negara-negara tersebut sangat bergantung kepada pola rantai makanan tanaman-manusia. Artinya, bila panen gagal atau harga pangan mahal, maka bencana kelaparan dan gizi buruk pun menanti (UNESCO, 1980).

Sebagai tambahan, pada Hasil Rapat Kerja Kesehatan Nasional Februari 2011, dipaparkan bahwa prevalensi gizi kurang masih sekitar 17,49% dan gizi buruk sekitar 4,9% (depkes.go.id, 10/10/11).

Strategi Jangka Panjang Pertanian

Tantangan dunia ke depan kian memperlihatkan ketergantungan pada sektor pertanian yang semakin tinggi. Mengutip pernyataan Andreas Maryoto, penulis buku Jejak Pangan, bahwa kebutuhan dunia akan semakin kompleks, tidak hanya energi, tetapi pasokan bahan baku yang beragam. Sektor pertanian(lah) yang akan memasok (semua) kebutuhan itu.

Kembali, FAO menegaskan bahwa investasi di bidang pertanian menjadi sangat penting guna pencapaian ketahanan pangan yang berkelanjutan. Adapun fokus yang disarankan adalah irigasi yang efektif, peningkatan manajemen pengolhan pangan, dan pemanfaatan pengembangan penelitian di bidang pertanian. Khusus bidang bioteknologi di Indonesia, masih menjadi perdebatan serius.

Untuk mencapai semuanya itu, mutlak diperlukan koordinasi yang holistik. Kuatkan kembali kerjasama dan koordinasi fungsional yang efektif, meliputi pemerintah dan masyarakat. Tidak lupa pula, mendorong partisipasi aktif semua pemangku kepentingan guna pencapaian ketahanan pangan tersebut. Terakhir, keseriusan dan ketegasan pemerintah dalam pengambilan keputusan menjadi faktor kunci guna penyelesaian tantangan pertanian di masa depan. Tanpa keberanian, masalah ini akan semakin buntu.

Penutup

Pada akhirnya, keberhasilan sebuah bangsa keluar dari krisis global ini ditentukan oleh kemampuannya sendiri. Perlu kesadaran bersama dalam mewujudkan ketahanan pangan di negeri ini. Tentu bukan sebuah prestasi apabila terjadi salah kelola yang berakibat pada kemerosotan peradaban rakyat.***

Penulis adalah kelahiran Medan; Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM; Mantan Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Buddhis UGM. Email:  jansparcow@gmail.com

Sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2011/10/17/17528/menuju_ketahanan_pangan_nasional/#.TqYZhHJPrXA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar