Pendahuluan
1. Di antara kebutuhan pokok, beras dan minyak goreng merupakan komoditas yang posisinya sangat strategis dan karena itu pemerintah selalu berusaha agar harga kedua komoditas tersebut relatif stabil. Pengertian "stabil" tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis yakni suatu kondisi dimana variabilitas harga antar waktu berada pada kisaran yang masih memungkinkan bagi stakeholder (produsen dan konsumen) untuk melakukan penyesuaian dalam jangka pendek. Bagi konsumen, determinan dari kemampuan untuk melakukan penyesuaian adalah daya beli; sedangkan bagi produsen determinannya adalah tingkat penerimaan yang cukup untuk menutup semua biaya variabel.
2. Per konsep, instabilitas harga tercermin dari variasi harga antar waktu sehingga mencakup kenaikan maupun penurunan harga. Meskipun demikian, fokus kajian kebijakan stabilisasi lazimnya terkait dengan kelompok sasaran. Sebagai contoh, sasaran kebijakan pemerintah dalam penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ataupun tarif impor adalah untuk melindungi produsen. Oleh karena itu, pengamatan dan kajian dalam konteks itu difokuskan pada fenomena penurunan harga. Sebaliknya, oleh karena sasaran kebijakan dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 22/M-DAG/PER /10/ 2005 ataupun kebijakan pemerintah dalam operasi pasar beras adalah untuk melindungi konsumen maka fokus kajian diarahkan pada fenomena kenaikan harga.
3. Kebijakan pemerintah dalam bidang pangan khususnya beras, cukup komprehensif.
Untuk melindungi produsen kebijakan yang ditempuh adalah penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), tarif impor, "buka tutup impor". Sedangkan untuk melindungi konsumen, kebijakan yang ditempuh antara lain adalah penetapan harga eceran tertinggi, operasi pasar beras, bantuan beras (subsidi) kepada penduduk miskin (raskin) dan sebagainya. Eksekusi program pengamanan HPP, pembentukan cadangan pemerintah (melalui pengadaan dalam negeri maupun impor), operasi pasar, dan program raskin dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga non departemen yakni Badan Urusan Logistik (BULOG).
4. Pada komoditas minyak goreng, kebijakan yang ditempuh adalah pemberlakuan Domestic Market Obligation (DMO), pajak ekspor, operasi pasar untuk orang miskin, menanggung pajak pertambahan nilai (PPN-DTP) dan menerapkan larangan ekspor CPO. Meskipun tidak seintensif pada komoditas beras, BULOG juga diberi tugas dalam eksekusi kebijakan di bidang ini.
5. Walaupun telah dirancang secara seksama namun efektivitas kebijakan yang ditempuh selalu membutuhkan penyempurnaan. Selain terkait dengan dinamika lingkungan strategis, tuntutan penyempurnaan itu juga terkait dengan permasalahan berikut. Pertama, belum ada kesamaan pemahaman antar stakeholder mengenai instabilitas harga itu sendiri. Kedua, terkait dengan masih lemahnya infrastruktur pendukung implementasi kebijakan sehingga kebijakan yang ditempuh seringkali cenderung bersifat reaktif dan kurang antisipatif.
6. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahan Pangan dinyatakan bahwa harga pangan tertentu yang bersifat pokok di tingkat pasar dinyatakan tidak stabil jika kenaikannya mencapai lebih 25 % dari harga normal. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 22 / M-DAG / PER
/10/ 2005 dinyatakan bahwa gejolak harga beras adalah kenaikan harga beras di tingkat konsumen mencapai lebih dari 25 % dari harga normal dan berlangsung selama 1 (satu) minggu. Dalam hal ini yang dimaksud "Harga Normal" adalah harga rata-rata beras kualitas medium di tingkat konsumen yang telah berlangsung selama 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya gejolak harga beras.
7. Tujuan umum kajian ini adalah untuk menghasilkan rekomendasi yang dapat dipergunakan dalam penyempurnaan kebijakan stabilisasi beras dan minyak goreng. Secara lebih rinci, tujuan kajian adalah: (1) merumuskan kriteria/indikator instabilitas harga; (2) menentukan "kapan" waktu yang tepat untuk intervensi pasar; (3) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas harga; dan (4) merumuskan usulan kebijakan stabilisasi harga beras dan minyak goreng terutama untuk mengurangi dampak negatif akibat instabilisasi harga. Mengacu pada Kerangka Operasional Penelitian, mengingat ruang lingkup substansi penelitian adalah stabilisasi harga beras dan minyak goreng di tingkat eceran maka fokus kajian di arahkan pada fenomena kenaikan harga.
8. Tahapan analisa dalam kajian mencakup tiga kegiatan yaitu: (i) menentukan kriteria tentang stabilisasi harga; (ii) menentukan waktu intervensi pasar; dan (iii) mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga di tingkat konsumen (eceran). Informasi yang dihasilkan dari analisis itulah yang digunakan sebagai bahan untuk menyusun rekomendasi kebijakan.
9. Kajian menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik, Departemen Perdagangan, BULOG, dan Departemen Pertanian. Data primer dikumpulkan melalui metode survey yang di beberapa wilayah penelitian terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Responden dalam survey adalah petani, pengecer, grosir, pedagang pengumpul, penggilingan, produsen CPO, pabrik minyak goreng, distributor/grosir minyak goreng pengecer minyak goreng, konsumen instansi pemerintah, dan asosiasi pengusaha (GAPKI). Selain itu, untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dilakukan pula sejumlah focus group discussion dengan stakeholder di kalangan pemerintahan, utamanya dalam pembahasan mengenai instrumen kebijakan stabilisasi harga.
Kebijakan Stabilisasi Harga Eceran Beras Yang Telah Diterapkan
10. Eksekusi Kebijakan Pemerintah terkini yang berkenaan dengan stabilitasi harga beras adalah program Operasi Stabilisasi Harga Beras (OSHB) pada akhir 2007, yang tujuannya adalah menjaga stabilisasi harga beras dalam negeri yang tidak bersumber dari stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP), tetapi stok operasional BULOG. Untuk itu kebijakan yang ditempuh mencakup kebijakan yang berkenaan dengan operasi pasar dan kebijakan yang berkenaan dengan impor beras. Dalam implementasinya, BULOG melakukan intervensi pasar melalui 3 jalur yaitu langsung ke pasar melalui program OSHB dan OPK-CBP dan tidak langsung melalui program Raskin. Dalam hal impor beras, pemerintah memberi hak monopoli impor beras hanya kepada BULOG dan bea masuk dinaikkan dari Rp
450/kg menjadi Rp 550/kg, serta kuota impor BULOG sebesar 1,5 juta ton.
11. Secara umum kebijakan tersebut berhasil mencapai sasarannya. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa harga beras domestik sejak akhir triwulan I Tahun 2008 relatif
lebih stabil daripada harga beras di pasar internasional. Selain ketepatan instrumen kebijakan, keberhasilan itu juga tak lepas dari tiga faktor berikut. Pertama, akselerasi program peningkatan luas panen dan produktivitas usahatani padi yang dilakukan Departemen Pertanian terdukung pula oleh kondisi iklim yang kondusif sehingga produksi padi dalam negeri Tahun 2007 – pertengahan 2008 mengalami lonjakan yang cukup besar. Kedua, cadangan pemerintah sangat cukup karena target pengadaan beras dalam negeri oleh BULOG mencapai sasarannya, bahkan lebih. Ketiga, volume penyaluran beras raskin meningkat drastis (sekitar 14 % dari konsumsi bulanan) dan lancar.
12. Walaupun demikian, penyempurnaan kebijakan stabilisasi harga beras tetap diperlukan. Era iklim global telah terjadi dan dampaknya adalah meningkatnya risiko dan ketidak pastian yang dihadapi dalam usahatani padi baik di lingkup global maupun domestik. Dengan kata lain tak ada jaminan bahwa di masa mendatang harga beras akan stabil seperti tahun 2008. Jadi, antisipasi terhadap kemungkinan adanya instabilitas harga sangat diperlukan.
Kriteria Instabilitas dan Waktu Intervensi
13. Secara teoritis, kriteria instabilitas tidak dapat sepenuhnya mengacu pada ukuran kuantitatif tertentu yang diderivasikan secara deduktif. Hal ini terkait dengan konsep mengenai instabilitas; bahwa persepsi tentang instabilitas terkait dengan ekspektasi stakeholder yang sifatnya relatif dan tergantung pada pengalaman empiris. Oleh karena itu pendekatan yang ditempuh dalam kajian ini menggunakan metode expert judgement berdasarkan eksplorasi historis dan pemahaman intensif atas persepsi stakeholder dan respon pemerintah (kebijakan yang telah ditempuh) atas variasi harga yang terjadi dalam suatu periode pengamatan yang dipandang cukup untuk mengambil kesimpulan (metode historis) dan memadukannya dengan hasil pengukuran indeks instabilitas. Selain itu, untuk mempermudah komunikasi dengan policy maker disajikan pula ukuran yang selama ini lazim dipakai yakni koefisien variasi.
14. Dengan pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa indeks instabilitas yang dapat digunakan sebagai acuan adalah 10 %. Hasil analisis menunjukkan bahwa
indeks stabilitas harga eceran beras bulanan untuk rerata Indonesia sebesar 8,4 %. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tingkat instabilitas harga eceran beras bulanan untuk rataan agregat Indonesia termasuk kategori moderat (expert judgement). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tingkat stabilitas antar tahun berbeda. Dalam kurun waktu Januari 2000 – Juni 2008 kondisi yang paling tidak stabil terjadi pada tahun 2005 sedangkan yang paling stabil terjadi terjadi pada tahun 2004.
15. Stabilitas harga antar kota besar bervariasi, baik waktu kejadiannya maupun besarannya. Dari kajian terhadap perkembangan harga beras eceran kualitas medium di lima kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar) diperoleh kesimpulan bahwa harga eceran beras bulanan paling tak stabil ternyata justru terjadi di Jakarta (indeks stabilitas = 13,5 %) dan Surabaya (indeks stabilitas
= 13,2 %).
16. Stabilitas harga eceran beras bulanan bukan hanya bervariasi antar tahun, tetapi juga tidak berbanding lurus dengan rata-rata tingkat harga bulanan. Hal ini dapat disimak dari fenomena harga eceran beras di Bandung versus Jakarta atau Surabaya. Dibandingkan dengan Jakarta dan Surabaya, rata-rata harga eceran beras bulanan di Bandung sebenarnya lebih rendah tetapi ternyata lebih tidak stabil. Implikasinya, apabila sasaran yang diinginkan adalah stabilitas harga maka informasi tentang tingkat harga rata-rata saja tidak memadai untuk pengambilan keputusan tentang stabilisasi harga.
17. Dalam kebijakan stabilisasi harga, pemerintah berkepentingan dalam dua hal: (1) kebijakan antisipatif, dan (2) kebijakan yang berkenaan intervensi pasar. Terkait dengan kebijakan antisipatif, hasil kajian menunjukkan bahwa: bulan-bulan rawan yakni bulan dimana insiden kenaikan harga cenderung lebih tinggi daripada bulan- bulan yang lain adalah Desember, Januari dan Februari. Implikasinya, sebagai suatu tindakan antisipatif, seperti penyediaan cadangan beras yang cukup, infrastruktur pendukung sistem distribusi dan sebagainya harus segera dipersiapkan lebih awal sehingga pada Bulan Desember telah siap.
18. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan intervensi, apabila terjadi instabilitas harga kebutuhan pokok. Pengertian instabilitas (gejolak) harga menurut Peraturan
Pemerintah No.68 /2002 tentang Ketahanan Pangan adalah harga pangan tertentu yang bersifat pokok di tingkat pasar mencapai lebih dari 25% dari harga normal. Selanjutnya dalam Peraturan Mendag No.22/M-DAG/PER/10/2005, gejolak harga beras adalah kenaikan harga beras di tingkat konsumen mencapai lebih dari 25% dari harga normal dan berlangsung selama 1 (satu) minggu. Harga normal adalah harga rata-rata beras kualitas medium di tingkat konsumen yang telah berlangsung selama 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya gejolak harga beras.
19. Terkait dengan itu, untuk menjawab kapan sebaiknya intervensi dilakukan (tujuan penelitian yang kedua), hasil kajian memperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama, jika referensi waktu yang dipergunakan sebagai acuan adalah tiga bulan terakhir maka kenaikan harga 25 % ke atas dalam periode tersebut hanya terjadi satu kali, yaitu di Surabaya yakni pada minggu kedua bulan Februari tahun 2007. Dikaitkan dengan persepsi dan respon masyarakat terhadap gejolak harga eceran beras di lapangan, pendekatan ini tampaknya kurang sesuai karena insiden kenaikan harga yang teridentifikasi terlampau sering. Kedua, jika referensi waktu yang dipergunakan sebagai acuan adalah 6 bulan terakhir maka kenaikan harga 25 % ke atas terjadi satu kali di Jakarta (minggu ketiga Februari 2007), dua kali di Bandung (minggu kedua dan ketiga Februari 2008), dan sekali di Surabaya (minggu kedua Februari 2007). Dikaitkan dengan fenomena empiris, referensi waktu 6 bulan layak dipertimbangkan untuk acuan harga normal. Ketiga, jika referensi waktu yang dipergunakan sebagai acuan diperpanjang lagi menjadi 9 bulan terakhir maka insiden kenaikan harga 25 % ke atas terjadi lebih sering ditemukan: di Jakarta tiga kali, di Bandung empat kali, dan Surabaya satu kali. Bulan kejadiannya relatif sama yakni Februari.
20.Mempertimbangkan aspek efektivitas kebijakan maupun aspek operasionalisasinya, direkomendasikan untuk menyempurnakan PP No.68/2002 tersebut di atas. Alternatif yang diusulkan adalah:
• Melakukan perubahan dalam waktu yang dijadikan referensi untuk menghitung harga normal dari semula 3 bulan menjadi 6 bulan, sedangkan ketentuan tentang tingkat kenaikan harga yang dijadikan acuan tetap 25 % ke atas.
• Melakukan perubahan dalam ketentuan mengenai tingkat kenaikan harga dari semula 25 % ke atas menjadi 15 % ke atas, sedangkan ketentuan mengenai referensi waktu yang dijadikan acuan untuk menghitung harga normal tetap 3 bulan.
21. Dengan mempertimbangkan tingkat kelayakan teknis dan manajerial dari implementasi kebijakan stabilisasi harga dan memadukannya dengan persepsi dan respon konsumen terhadap intsbilitas harga, dari kajian ini diperoleh kesimpulan bahwa acuan untuk intervensi layak ditempuh jika kenaikan dalam seminggu terakhir mencapai lebih dari 15% dibandingkan dengan rata-rata bergerak dalam kurun waktu 3 bulan terakhir.
22. Mengacu pada kriteria yang dikembangkan, intervensi pasar sangat diperlukan pada
Bulan Januari dan Februari.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Instabilitas Harga Eceran Beras
23. Selanjutnya adalah informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas harga eceran beras (tujuan penelitian yang ketiga) sangat diperlukan untuk memilah dan memilih instrumen kebijakan apa yang secara langsung atau tidak langsung dapat dipergunakan oleh pemerintah untuk memelihara stabilitas harga. Secara teoritis terdapat faktor-faktor yang sifatnya eksternal, artinya di luar kendali pemerintah dan faktor-faktor internal (dapat dikendalikan oleh pemerintah).
24. Hasil kajian menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap instabilitas harga beras adalah: instabilitas harga BBM, instabilitas stok beras akhir bulan yang dikuasai BULOG, instabilitas volume impor beras, dan volume operasi pasar beras yang dilakukan BULOG. Secara ringkas sebagai berikut:
• Harga eceran beras semakin tidak stabil jika harga BBM tidak stabil.
• Harga eceran beras semakin stabil jika mobilisasi stok beras lancar.
• Harga eceran beras semakin stabil jika volume impor beras lebih stabil.
• Harga eceran beras semakin stabil jika volume operasi pasar semakin besar.
Variabel-variabel penjelas lainnya (instabilitas luas panen, instabilitas harga beras di pasar internasional, peran swasta dalam impor beras, instabilitas tarif impor beras, dan instabilitas harga beras periode sebelumnya) tidak berpengaruh nyata.
25. Kebijakan stabilisasi harga beras yang telah diterapkan pemerintah hingga saat ini dapat dinyatakan berhasil mencapai sasaran (instabilitas harga beras dalam kisaran yang moderat). Hal ini dikarenakan pemerintah telah melakukan intervensi pada faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas harga beras, seperti menyuplai stok beras yang cukup, melakukan operasi pasar, dan pembatasan impor. Sedangkan harga BBM yang merupakan faktor eksogen sulit dikendalikan pemerintah karena sangat tergantung dari fluktuasi harga minyak dunia.
Penyempurnaan Kebijakan Stabilisasi Harga Beras
26. Walaupun Pemerintah telah berhasil mengendalikan stabilitas harga pada tingkat yang moderat, namun bukan berarti semua kelompok dapat mengakses pangan (beras) dengan jumlah yang cukup. Terdapat kelompok miskin kronis (the cronic poor) yang rawan pangan (food insecurity) yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. Jika terjadi sedikit saja kenaikan harga beras, maka berdampak langsung terhadap daya beli kelompok miskin ini. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka kebijakan Pemerintah memberikan subsidi untuk beras masih sangat relevan.
27. Terdapat beberapa opsi kebijakan untuk mengatasi dampak negatif instabilitas harga pangan (jawaban tujuan penelitan yang keempat) yaitu : (i) subsidi umum yaitu intervensi pasar secara langsung, atau (ii) subsidi terarah (targeted) yaitu kepada kelompok miskin sebagai sasaran diberikan bantuan/subsidi, baik natura maupun uang kas. Konkritnya sebagai berikut:
• Subsidi umum (general subsidy). Kebijakan ini dipakai untuk menekan kenaikan harga pangan tertentu sehingga harganya menjadi lebih rendah. Misalnya dengan operasi pasar. Kelemahan subsidi umum adalah semua kelompok masyarakat akan menikmati pangan yang harganya telah tertekan rendah. Di samping biayanya besar, program ini relatif kurang adil mengingat
bahwa seringkali yang lebih banyak menikmati adalah kelompok yang lebih mampu karena lebih mudah mengakses program tersebut.
• Subsidi terarah (targeted subsidy). Subsidi ini diarahkan langsung ke kelompok miskin. Kesulitan yang selalu muncul terkait dengan banyaknya jumlah penerima manfaat yang tersebar di berbagai wilayah sedangkan infrastruktur pendukungnya kurang memadai sehingga sulit dan mahal. Subsidi terarah dapat berbentuk subsidi transfer tunai ataupun subsidi transfer pangan natura. Subsidi transfer tunai relatif lebih murah namun jarang bertahan lama karena terkendala oleh kepastian dana dari pemerintah dan persetujuan DPR. Indonesia pernah melakukan program Subsidi Langsung Tunai (SLT), baik bersyarat maupun tidak bersyarat. Subsidi transfer pangan natura dapat disampaikan ke kelompok miskin untuk mengatasi instabilitas harga pangan, khususnya beras. Penyalurannya dapat mempergunakan 3 instrumen yaitu: (i) food stamps (kupon pangan), (ii) food for work (FFW), (iii) quantity rationing. Bantuan itu bisa gratis seperti pangan khusus atau suplementary feeding program buat ibu hamil/menyusui atau untuk anak sekolah; atau penerima manfaat perlu membayarnya pada tingkat harga yang lebih rendah, seperti program Raskin.
Kebijakan Stabilisasi Harga Eceran Minyak Goreng
28. Fenomena guncangan harga minyak goreng berbeda dari beras. Selain frekuensi kejadiannya lebih banyak, besaran pun relatif lebih ekstrim. Guncangan harga dalam periode Januari 2000 – 2007 dapat dipilah menjadi lima segmen waktu yaitu: (1) Periode 2000 – 2001 (awal) terjadi 3 kali guncangan harga; (2) periode 2001-
2003 (awal) relatif stabil; (3) periode 2003 - 2004 terjadi 2 kali guncangan harga; (4) periode 2004 – 2006 relatif stabil dan (5) periode 2007 terjadi banyak guncangan (terkait dengan kenaikan BBM dan fluktuasi harga CPO di pasar internasional.
29. Untuk tingkat agregasi yang lebih rinci, yakni pada pengamatan di lima kota besar Indonesia (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar), instabilitas tertinggi justru terjadi di Medan meskipun rata-rata harga tahunannya relatif lebih rendah
daripada empat kota besar lainnya (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makasar). Harga paling stabil adalah di Bandung meskipun di kota ini rata-rata harga tahunannya lebih tinggi daripada di Medan.
30. Untuk level agregat rataan Indonesia, telah terjadi 16 kali insiden kenaikan harga di atas 5 %. Frekuensi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 7 kali, dan peringkat berikutnya adalah pada tahun 2006 dan 2003 (masing-masing 3 kali). Di masing- masing kota besar yang dikaji, insiden lonjakan harga di atas 5 % masing-masing kota tersebut lebih sering terjadi daripada di level agregat nasional. Di Kota Medan terjadi 28 kali, sedangkan di Jakarta 24 kali. Di tiga kota lainnya (Bandung, Surabaya, dan Makasar) masing-masing adalah 20 kali. Meski pun dari sudut pandang frekuensi kejadiannya yang tertinggi adalah di Makasar namun jika ditinjau dari tingkat kenaikannya, rekor tertinggi justru terjadi di Makasar yaitu 39
%. Ini terjadi pada bulan April 2007. Meskipun dengan persentase yang lebih rendah, kenaikan harga tersebut masih terus terjadi sampai dua bulan berikutnya (Mei dan Juni). Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa stabilitas harga eceran minyak goreng dalam dua tahun terakhir menunjukkan tendensi menurun.
31. Singkatnya, dibandingkan harga beras ternyata harga minyak goreng lebih fluktuatif. Indeks stabilitas harga eceran minyak goreng bulanan untuk rerata Indonesia adalah 11.8 %. Dalam periode 2000 – 2007, kondisi yang paling tidak stabil adalah tahun 2007 (koefisien variasi = 15 %) dan peringkat berikutnya adalah tahun 2001 (koefisien variasi = 10.2%). Kondisi demikian itu terjadi di hampir semua kota besar di Indonesia. Selanjutnya untuk penentuan waktu intervensi, sesuai dengan batas ambang instabilitas yang telah ditetapkan sebelumnya (15%), maka waktu intervensi adalah pada akhir dan awal tahun (Desember-April). Dengan demikian sama dengan beras minyak goreng dikatakan instabil apabila indeks stabilitas berada pada kisaran di atas 10% (expert judgement).
32. Sebagai produk berbasis pertanian, maka fluktuasi harga minyak goreng tampaknya tidak akan dapat dihindarkan dan akan menjadi masalah rutin/kronis, baik ketika harga CPO menurun drastis ataupun meningkat tajam. Pada saat ini pemerintah menerapkan kebijakan Pungutan Ekspor (PE), kewajiban pasokan ke pasar dalam
negeri atau yang disebut Domestic Market Obiligation (DMO), dan melakukan operasi stabilisasi harga minyak goreng.
33. Jika pemerintah bermaksud mengatasi masalah tersebut secara jangka panjang, pemerintah harus mengambil kebijakan yang bersifat fundamental. Kebijakan tersebut memerlukan biaya yang cukup besar, namun diyakini mampu menyelesaikan masalah secara lebih mendasar dan jangka panjang. Untuk itu, beberapa hal berikut harus dipertimbangkan.
• Kebijakan yang dirumuskan sedapat mungkin mampu mengakomodasi berbagai kemungkinan/skenario dimana intervensi pemerintah memang sangat dibutuhkan. Dalam kasus ini, tiga skenario yang perlu diantisipasi adalah harga CPO terlalu rendah, harga terlalu tinggi, atau perubahan nilai tukar yang cukup signifikan.
• Target kebijakan harus lebih spesifik yaitu orang miskin, petani, atau industri yang berbasis CPO atau minyak goreng. Untuk orang miskin, misalnya, tujuan kebijakan adalah untuk memberi akses minyak goreng dengan harga terjangkau kepada mereka. Untuk petani dan industri, tujuan kebijakan pemerintah mungkin memberi dukungan agar petani menjadi kompetitif dan menciptakan kepastian iklim investasi karena industri CPO merupakan investasi jangka panjang.
• Tujuan kebijakan harus berdimensi jangka panjang sehingga tujuan tersebut memerlukan komitmen jangka panjang baik dari eksekutif maupun legislatif. Tanpa dukungan dan komitmen jangka panjang tersebut, kebijakan pemerintah akan cenderung bersifat jangka pendek untuk merespon isu jangka pendek.
Jika ketiga hal tersebut di atas disepakati, beberapa pilihan kebijakan yang potensial untuk diterapkan dengan kelebihan dan kekurangannya adalah sebagai berikut :
• Pungutan Ekspor, bersifat progresif (variable levy) seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.011/28/2008, kebijakan ini berdampak positif pembagian beban antara produsen, konsumen dan pemerintah yang seimbang, mudah dilaksanakan dan pemerintah mendapat tambahan pemasokan. Keterbatasannya adalah menghambat upaya peningkatan
ekspor, disinsentif bagi industri CPO domestik dan menurunkan pendapatan petani
• Domestic Market Obligation, bila harga maksimum sudah terlampaui untuk periode tertentu, pemerintah mewajibkan produsen CPO dan minyak goreng untuk mengalokasikan produksinya pada harga tertentu untuk memenuhi konsumsi domestik dengan harga maksimum sama dengan harga eceran tertinggi (HET). Kebijakan ini relatif baik namun mempunyai sisi negatif yaitu : menghambat upaya peningkatan ekspor, menurunkan pendapatan industri CPO domestik, menurunkan pendapatan petani dan penerimaan negara lebih rendah serta sulit implementasinya.
• Operasi Pasar, identik dengan kebijakan buffer stock tetapi lebih spesifik diarahkan untuk mencegah harga tidak melewati HET. Kebijakan ini tidak mendistorsi pasar ekspor, tidak membebani industri berbasis CPO dan tidak membebani petani, namun membebani anggaran negara cukup besar dan efektivitasnya rendah.
• Subsidi ke Industri, misalnya dalam bentuk keringanan PPN-DTP ataupun subsidi harga CPO. Dengan demikian, biaya produksi menurun dan produsen minyak goreng diharapkan dapat menjual dengan harga tidak melewati HET. Positif kebijakan ini tidak mendistorsi pasar ekspor, tidak membebani industri berbasis CPO dan tidak membebani petani. Namun berdampak negatif seperti kesulitan implementasi, membebani anggaran negara cukup besar dan ekspor minyak goreng bersubsidi yang ilegal.
• Subsidi ke Orang Miskin, mengunakan konsep direct payment pada orang miskin, hal ini sudah dilakukan baik di negara maju seperti Amerika Serikat (food stamp) dan di India (ratian card) pada komoditi gula. Kebijakan ini positif karena tidak mendistorsi pasar ekspor, tidak membebani industri berbasis CPO, tidak membebani petani dan target lebih fokus sehingga beban anggaran lebih rendah. Namun pelaksanaan sering tidak tepat sasaran karena data rumah tangga miskin yang tidak akurat dan membebani anggaran negara.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Instabilitas Harga Minyak Goreng
34. Hasil kajian menunjukkan adanya indikasi bahwa spekulasi diduga ikut berkontribusi penting dalam terciptanya instabilitas harga minyak goreng. Hal ini tampak dari rendahnya koefisien determinasi dari model yang dikembangkan padahal dari sudut pandang teori semestinya koefisien determinasinya diharapkan lebih dari 30 %. Di antara variabel yang berpengaruh nyata terhadap instabilitas harga minyak goreng adalah fluktuasi harga BBM, krisis pangan, fluktuasi harga CPO di pasar internasional dan nilai tukar. Semuanya bertanda positif yang berarti bahwa instabilitas yang terjadi pada variabel- variabel tersebut menyebabkan harga minyak goreng juga tidak stabil.
35. Sebagian besar variabel penjelas yang berpengaruh nyata terhadap instabilitas minyak goreng ternyata justru bukan variabel kebijakan. Sebagai contoh, instabilitas harga CPO dan nilai tukar. Perilaku kedua variabel ini ditentukan oleh mekanisme pasar internasional dan dengan sendirinya kemampuan pemerintah untuk melakukan intervensi sangatlah terbatas. Di sisi lain, pengaruh instabilitas pungutan ekspor yang secara teoritis merupakan instrumen kebijakan yang dapat dimainkan, namun ternyata pengaruhnya terhadap instabilitas harga tidak signifikan. Fenomena serupa terjadi pula pada variabel harga BBM.
36. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa instrumen kebijakan yang dapat dimainkan untuk mengatasi instabilitas harga minyak goreng dapat dikatakan sangat terbatas. Pungutan ekspor CPO, yang selama ini dipergunakan sebagai instrumen kebijakan pada dasarnya hanya efektif untuk menekan kecenderungan naiknya harga minyak goreng tetapi kurang efektif jika orientasinya adalah untuk stabilisasi harga.
Beberapa Simpul Strategis Penyempurnaan Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak
Goreng
37. Dengan mempertimbangkan dampak posistif dan negatif dari masing-masing pilihan kebijakan, tampaknya kebijakan yang diperlukan adalah kombinasi dua kebijakan. Dua kebijakan tersebut adalah (i) kebijakan yang berkaitan langsung dengan produsen dan perdagangan internasional dan (ii) kebijakan yang berkaitan
dengan konsumen. Selanjutnya, kebijakan yang akan diambil perlu spesifik untuk masing-masing target (decoupled policies). Dengan kebijakan yang bersifat decoupled, dampak ikutan atau ekses dari kebijakan tersebut lebih mudah diisolasi.
38. Jika pendekatan decoupled disepakati, paket kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang bersifat efektif, jangka panjang dan predictable. Untuk itu, kebijakan yang diusulkan adalah kombinasi kebijakan PE dan subsidi ke penduduk miskin.
39. Kebijakan PE lebih dimaksudkan untuk azas keadilan atau pembagian beban yang lebih adil, baik ketika harga tinggi maupun rendah – meskipun bukan merupakan kebijakan yang efektif untuk membendung ekspor ketika harga tinggi. Untuk mengurangi beban yang bagi orang miskin sebagai akibat PE tidak sepenuhnya mengendalikan harga, khususnya ketika harga meningkat, pemerintah dapat menerapkan kebijakan kompensasi untuk mereka.
40. Pada Pungutan Ekspor, pemerintah kini sudah menerapkan kebijakan PE progresif mengikuti perkembangan harga CPO dunia, namun tingkat PE maupun tingkat progresif dari pajak tersebut masih dikeluhkan oleh stakeholder, khususnya produsen CPO. Dengan kenyataan bahwa perusahaan harus membayar PPh sebesar
30%, kebijakan PE yang berlaku sekarang dirasakan sangat memberatkan produsen.
41. Salah satu masalah yang potensial yang berkaitan dengan PE sekarang adalah masih adanya indikasi ketidak-adilan distribusi benefit atau manfaat akibat PE. Penerimaan benefit antara produsen dengan pemerintah semakin tidak proporsional jika harga CPO semakin tinggi. Ketika harga mencapai sekitar US$ 1,300, penerimaan pemerintah justru lebih tinggi dari dari produsen. Dalam hal ini produsen menerima hanya 33% dari penerimaan sementara pemerintah menerima sebesar 39% dalam bentuk PE dan PPh. Bahkan keuntungan perusahaan akan lebih tinggi pada saat HE US$ 1,200/ton, dibandingkan dengan ketika harga US$
1,300/ton. Hal ini tentu tidak adil karena pemerintah mendapatkan benefit lebih banyak dari pada produsen yang sudah melakukan investasi dengan segala risiko, termasuk menderita kerugian.
42. Khusus untuk Subsidi untuk orang miskin, dengan pertimbangan PE tidak cukup efektif untuk menekan harga, maka konsumen yang paling rentan terhadap
kenaikan harga, yaitu orang miskin, perlu dilindungi dengan kebijakan khusus yang tidak langsung mendistorsi pasar atau efek distorsinya minimal. Dalam konteks ini, akses penduduk miskin terhadap minyak goreng murah harus ditingkatkan. Salah satu cara yang dipandang efektif adalah kebijakan yang bernuansa direct payment yang memang terpisah dengan kebijakan produksi.
43. Kemungkinan untuk mengadopsi dan mengadaptasi kebijakan ratian card seperti yang diterapkan di India atau atau food stamp di Amerika Serikat layak dikaji dan dipertimbangkan. Kebijakan sejenis ratian card ini tentu membutuhkan dana yang cukup besar, data orang miskin yang tepat, serta manajemen distribusi yang handal. Dengan kebijakan seperti itu, subsidi akan semakin menurun ketika harga makin menurun dan potensial untuk diberlakukan sebagai salah satu jenis kebijakan yang bersifat jangka panjang, karena akan terhindar dari isu-isu konflik kepentingan antara stakeholder yang bersifat jangka pendek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar